Sejak era reformasi, Indonesia memilih jalan demokrasi langsung sebagai cara menentukan para pemimpin politiknya, baik di eksekutif maupun legislatif. Rakyat kini memiliki hak penuh untuk memilih kepala daerah dan anggota DPR secara langsung melalui pemilu. Di satu sisi, langkah ini memperkuat partisipasi politik dan kedaulatan rakyat. Namun di sisi lain, sistem ini juga membuka berbagai celah masalah yang kompleks. Berikut adalah lima dampak negatif utama dari sistem ini yang perlu menjadi perhatian bersama:
1. Potensi Konflik Legislatif-Eksekutif: Dua Arah yang Tak Selalu Sejalan
Salah satu persoalan paling nyata dalam pemilihan langsung adalah konflik antara kepala daerah (eksekutif) dan DPRD (legislatif) yang berasal dari partai atau koalisi politik berbeda. Ketika dua lembaga ini tidak memiliki visi atau arah pembangunan yang selaras, maka proses pengambilan keputusan menjadi lambat, bahkan bisa macet total.
Contohnya bisa dilihat dari penolakan pengesahan anggaran, interpelasi politik yang bernuansa balas dendam, hingga saling menjegal dalam proyek pembangunan daerah. Dalam situasi ini, rakyatlah yang paling dirugikan karena pembangunan bisa tersendat hanya karena tarik-menarik kepentingan elit politik.
2. Biaya Politik yang Tinggi: Demokrasi yang Mahal dan Tidak Merata
Untuk bisa mencalonkan diri dalam pemilu, baik sebagai kepala daerah maupun anggota DPR, dibutuhkan biaya yang sangat besar—mulai dari biaya pencalonan, kampanye, logistik, hingga tim sukses. Akibatnya, banyak calon terpaksa mencari sponsor atau donatur dari kalangan pengusaha atau pemilik modal.
Dampaknya? Praktik “politik balas budi” kerap terjadi. Setelah menang, sang pemimpin merasa punya “utang” yang harus dibayar—bisa dalam bentuk proyek, perizinan, hingga pengaturan kebijakan. Situasi ini membuka jalan korupsi dan menyuburkan oligarki politik, di mana kebijakan publik tidak lagi berpihak pada rakyat, melainkan pada pemilik modal yang mendanai pemilu.
3. Pragmatisme Politik dan Politik Uang: Suara Rakyat yang Bisa Dibeli
Salah satu dampak paling mengkhawatirkan dari pemilihan langsung adalah meluasnya praktik politik uang. Banyak kandidat lebih memilih “membeli” suara rakyat dengan iming-iming uang tunai, sembako, atau janji-janji palsu ketimbang menyusun program kerja yang nyata.
Kondisi ini melahirkan pragmatisme di dua arah: politisi hanya peduli pada kemenangan jangka pendek, sementara rakyat menjadi terbiasa dengan budaya transaksional. Akibatnya, kualitas demokrasi memburuk, dan politisi yang menang bukanlah yang paling cakap, tetapi yang paling “berani bayar”.
4. Fragmentasi dan Polarisasi: Ketika Pemilu Membelah Masyarakat
Pemilu yang kompetitif memang baik, tapi dalam banyak kasus di Indonesia, kontestasi politik justru menciptakan polarisasi yang tajam di masyarakat. Persaingan antar calon dapat memecah warga ke dalam “kamp-kamp” politik yang saling bermusuhan. Bukan hanya antar elit, tetapi sampai ke tingkat keluarga, RT, hingga komunitas sosial.
Pasca-pemilu, luka sosial ini sering kali belum sembuh. Jika tidak dikelola dengan bijak, konflik horizontal bisa terjadi. Isu SARA, hoaks, dan ujaran kebencian kerap dipakai sebagai senjata politik. Ini bukan hanya merusak tatanan sosial, tetapi juga memperlemah semangat persatuan dan kesatuan bangsa.
5. Fokus pada Popularitas, Bukan Kapasitas: Pemilu Jadi Ajang Showbiz
Dalam sistem pemilihan langsung, kandidat yang populer—entah karena selebritas, sensasi, atau kemampuan komunikasi—sering kali memiliki peluang menang lebih besar dibanding kandidat yang kompeten namun tidak dikenal publik luas.
Kondisi ini menyebabkan pemilu berubah menjadi ajang “reality show politik”. Penampilan di media sosial, gimmick kampanye, dan daya tarik personal lebih menentukan ketimbang kapasitas teknokratis, pengalaman, atau integritas. Akibatnya, banyak kepala daerah dan legislator terpilih yang tidak siap secara manajerial, sehingga kualitas tata kelola pemerintahan menjadi buruk.
Penutup: Saatnya Evaluasi Demokrasi Langsung?
Pemilihan langsung bukanlah sistem yang salah, namun cara kita menjalankannya yang masih jauh dari ideal. Lima masalah di atas—konflik politik, biaya tinggi, pragmatisme, polarisasi, dan seleksi pemimpin berdasarkan popularitas—harus menjadi bahan evaluasi mendalam.
Demokrasi sejatinya bukan hanya soal memilih, tapi tentang menciptakan pemerintahan yang efektif, adil, dan berpihak pada rakyat. Tanpa reformasi sistem pemilu dan pendidikan politik yang kuat, pemilihan langsung hanya akan menjadi pesta lima tahunan yang mahal dan melelahkan, namun tak membawa perubahan berarti bagi kehidupan masyarakat.