Belajar dari Seekor Kucing

@ristizona.com
@ristizona.com

Beberapa hari ini saya perhatikan perilaku kucing yang berkeliaran di mess tempat kerja.  Ada satu anak kucing yang dipelihara rekan kerja dan satu lagi seekor kucing yang sudah dua kali melahirkan. Kucing emak-emak.  Kucing yang kecil memang sehari-hari nongkrong di dapur. Kadang saya suka menyediakan makanan. Nah kucing yang sudah emak-emak itu kalau siang suka ke dapur mencari makan.

 

Anak kucing yang merasa sebagai pemilik dapur tentu tidak senang dengan kehadiran kucing itu. Untuk menunjukkan ketidak-senangannya, si anak kucing menyeringai dengan suaranya yang melengking. Saya mencoba menerjemahkan apa yang ingin dikatakan anak kucing tersebut,”Hei, kamu jangan macam-macam ya. Awas kalau kamu makan jatah saya!”

 

Tapi herannya, kucing emak-emak itu cuek dan  tenang menengok sejenak lalu dengan santai menyantap makanan yang sudah disediakan. Sementara di belakang si anak kucing tak henti-hentinya menyeringai. Saya dapat membaca apa yang hendak dikatakan si kucing emak-emak itu,”Ala..jangan belagu deh, jangan sok menakuti saya. Suara kamu itu cuma angin lalu dan saya malas melayani kamu.”

 

Melihat peristiwa ini saya jadi berpikir, ini kucing saja bisa bijak menyikapi ketidaksenangan si anak kucing dengan tenang. Tidak melayani dengan sikap arogan. Kalau mau, sekali cakar juga anak kucing itu pasti berdarah-darah.

 

Kucing emak-emak ini malah dengan santai menyikapi, seakan-akan tidak ada gangguan. Ia tidak merasa harga dirinya terganggu dengan sikap anak kucing yang sok galak dan belagu itu.

 

Bagaimana dengan kita?

 

 

Menyikapi Ketidak-senangan dengan Ketenangan

 

Kadang malah karena hal sepele saja kita malah suka cakar-cakaran seperti kucing.  Maksudnya kelakuannya loh, bukan orangnya seperti kucing. Saya menulis seperti ini tentu bercermin pada perilaku saya sendiri selama ini, makanya melihat kucing emak-emak saja bisa tenang menghadapi ketidak-senangan anak kucing jadi malu sendiri.

 

Kapan bisa dewasanya? Malu, cuma fisiknya yang dewasa dan tua. Tapi batin masih kalah dengan seekor kucing. Ya ampun!

 

Batin yang dewasa tentu tidak akan melayani hal-hal yang sepele atau gangguan ketidak-senangan orang lain terhadap dirinya. Karena kita memang tidak bisa menyenangkan semua orang. Tapi kita bisa menyikapi dengan hati yang senang atas ketidak-senangan itu.

 

 

Kedewasaan Batin

 

Fisik kita bertumbuh dari hari ke hari. Sampai kemudian mencapai yang disebut dewasa. Tapi kenyataannya tubuh yang sudah tumbuh dewasa belum tentu dalam kerohanian akan dewasa juga. Tidak sedikit _contohnya saya_ dengan tubuh yang sudah dewasa dan hampir rentah ini, batinnya masih seperti anak-anak dan belum bertumbuh.

 

Masih mudah tersinggung oleh hal-hal yang sepele, mendendam, sulit memaafkan, suka membicarakan kejelekan orang, mau menang sendiri. Itu hanya sedikit contoh ketidak-dewasaan batin kita.

 

Mengapa pertumbuhan fisik dan batin tidak seiring kedewasaannya?

 

Adalah masalah prioritas. Pada kekinian, mengolah dan mempercantik penampilan luar lebih menjadi perhatian bila dibantingkan dengan mengolah batin. Kita lebih sibuk mengaca wajah kita dan tidak menembus sampai ke batin.

 

Bila baju yang kita kenakan terkena kotoran, kita akan merasa risih dan tidak nyaman. Tapi bila perilaku kita yang ‘kotor’ anehnya kerisihan itu malah tak ada. Terkadang malah bangga mempertontonkannya.

 

Hidup yang penuh warna-warni memang melenakan, sehingga kita melupakan tujuan dan prioritas hidup mana yang lebih utama.

 

 

@refleksihatidipagihari

Related posts