
Kening Kobar terlihat berkernyit. Ingin rasanya ia tertawa terbahak mentertawai kelakuannya sendiri. Bila hanya sekedar update status, mencermati respon dari kawan-kawan dunia mayanya, mengapa harus di sini, bukankah hamper sepanjang waktu telah dijalani? Mengapa saat menanti pergantian hari, bermain dengan dingin malam, dan…. Ia matikan HP, segera masukkan saku celana bagian depan sebelah kanan. Cukup. Malam ini tanpa dunia maya!
Matanya kembali menjelajah sekelilingnya. Kerumunan orang dalam kelompok-kelompok kecil tengah bersenda gurau, ada pula kelompok yang masing-masing asyik dengan gadgetnya, ada yang berfoto-ria mencari sudut-sudut yang dinilai menarik untuk mengabadikan diri (dapat dipastikan akan diposting di jejaring sosial!), sekelompok orang dengan barisan motor dan spanduk yang menunjukkan identitasnya, pedagang asongan, dengan termos dan keranjang yang berusaha menawarkan para pengunjung di wilayah ini. Sinar terang dari lampu-lampu jalan dengan cahaya yang sama, sulit membedakan waktu dalam malam, kecuali engkau melihat jam. Dua atau tiga puluh tahun lalu, tentu tiada terbayangkan akan terjadi hal semacam ini, di kota kecil, kota pelajar, kota sepeda, kota budaya, Indonesia mini, kota internasional, denyut kehidupan terus menyala selama 24 jam. Barangkali, dahulu para penjelajah malam selalu lekat dengan dunia kriminal dan ahai, tentunya para seniman dan politisi yang mencari wangsit dan bergerilya dalam kegelapan malam. Tapi kini, siapa saja, seakan dihidupkan untuk terus bertahan menjaga keberlangsungan kehidupan 24 jam tiada henti! Artinya pula, akan mengubah berbagai dimensi kehidupan.
Ah, di sini, di Titik Nol atau Nol Kilometer Yogyakarta, ya, ya, ya, di sini, Kobar memang tengah berada, tepatnya di salah satu tempat duduk beton di sebelah Timur jalan bagian paling selatan. Di situlah Kobar bersandar sejak tadi, sejak ia tiba, dan sengaja memilih tempat yang dinilainya strategis untuk menjelajah setiap ruang. Beruntung, saat tiba, kelompok yang menempati tempat tersebut baru saja bergegas meninggalkan tempat. Ya, sayang sekali, mengapa mereka tidak melewatkan pergantian hari di sini?
Titik nol inilah tempat yang dijadikan sebagai titik bermula perhitungan jarak di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta menuju ke segala penjuru. Utara-Selatan-Timur-Barat. Bila engkau berada di Jalan Kaliurang KM 11, misalnya, maka itu berarti 11 kilometer dari kawasan ini. Kobar tidak tahu secara pasti, titik pusat yang benar-benar dijadikan sebagai pertanda titik nol. Tidak ada keterangan ataupun penanda, seperti tugu misalnya, sebagaimana ditunjukkan oleh kota-kota lainnya. Namun, ia teringat saat awal-awal memasuki kota Yogyakarta di pertengahan tahun 1980-an, di tengah perempatan jalan kawasan ini ada bundaran air mancur. Apakah itu penanda untuk memulai titik perhitungan jarak? Katanya sih begitu. Sayang bundaran air mancur itu telah dibongkar dan tidak meninggalkan jejak apapun. Banyak orang telah melupakannya, apalagi orang-orang kelahiran tahun 1980-an pastilah tidak mengetahuinya.
Penyebutan Titik Nol Kilometer Yogyakarta untuk kawasan inipun rasanya tidak sejak dulu. Saat-saat menyambangi tempat ini, tidak pernah disebut Nol Kilometer. Biasanya orang hanya akan mengkaitkan dengan Malioboro, sebuah nama yang tentunya lekat dengan seluruh warga, orang-orang yang pernah tinggal ataupun singgah di Yogyakarta. Nama yang telah mendunia, sebagai icon kota ini, yang wajib rasanya dikunjungi bila berada di Yogyakarta. Nama yang sesungguhnya tidak tepat pula bila merujuk pada nama jalan. Bermula dari rel stasiun Tugu membentang ke selatan hingga perempatan, sesungguhnya ada dua nama jalan. Malioboro dan Ahmad Yani. Titik nol, bagian dari Jalan Ahmad Yani. Oh, ya belum lama ini, tepatnya pada tanggal 20 Desember 2013, secara resmi sudah diputuskan tentang pergantian nama jalan Ahmad Yani, untuk, kembali kepada nama awal: Jalan Hargo Mulyo. Pada saat bersamaan, ada pergantian jalan, yang seluruhnya bergaris lurus sejak Tugu Yogyakarta ke arah alun-alun, kecuali ama Jalan Malioboro. Jln. Mangkubumi kini menjadi Jalan Margo Utomo, Jalan Trikora yang terletak di selatan perempatan titik nol menjadi Jalan Pangurakan. Perubahan nama, didasarkan pada alasan untuk menampilkan karakter, filosofi, serta nilai-nilai sejarah Yogyakarta tempo dulu. Pertanyaannya, apakah nama-nama jalan lain, juga akan dirubah ke nama jalan pada masa lalu? Sejauh mana, ia akan bermakna bagi kesadaran dan kehidupan masa kini? Adakah bangunan-bangunan bersejarah, seperti Senisono yang menjadi icon pergerakan kebudayaan Yogyakarta yang telah menghasilkan banyak seniman terkemuka di Indonesia, akan dibangkitkan kembali, di sebelah Barat bagian selatan, yang kini hanya menjadi pagar Gedung Agung, istana kepresidenan di Yogyakarta? Jika begitu, ah, luar biasa sekali. Termasuk barangkali bangunan-bangunan yang kini berubah menjadi perhotelan atau pusat perbelanjaan. Kobar tersenyum sendiri dengan lintasan pikirannya yang nakal. Tapi berpikir dan berpendapat sah-sah pula toh? Tidak ada larangan untuk berpikir sesuatu?
Di sini, di seputar kawasan titik Nol Kilometer sudah mengalami banyak perubahan fisik. Ia kini telah menjadi kawasan yang tercipta sebagai salah satu landmark kota Yogyakarta, menjadi wilayah yang tampaknya merupakan satu-satunya tempat teramai yang dilintasi dan dikunjungi orang dengan kehidupan 24 jam. Ya, di titik nol. 24 jam kehidupan tiada henti dalam irama gerak dan nafas beragam manusia. Penataan ruang terus menerus, tampaknya telah mendapatkan komposisi yang pas sebagai ruang publik untuk menikmati malamnya Yogya dengan rasa aman dan nyaman. Sebelumnya, seperti trotoar pada umumnya, sempat pula menjadi tempat pedagang kaki-lima mengadu nasib merayu para pelancong terutama di saat-saat liburan sekolah. Digusur, hadir lagi, digusur, hadir lagi. Hingga terakhir, dibuat ruang-ruang yang tidak memungkinkan para pedagang kaki-lima untuk menggelar dagangannya. Awalnya kursi-kursi kayu, selanjutnya dibuat permanen menjadi kursi-kursi beton.
Di sini, menikmati ruang publik yang tidak akan memaksamu untuk mencermati isi dompet terlebih dahulu agar engkau dapat mengarungi sepenggal nafas kehidupan dalam sepenggal waktu. Tanpa uang sepeser-pun, engkau tak perlu ragu untuk menghabiskan waktu di sini: sendiri, bersama keluarga atau kawan-kawanmu. Lihat saja malam ini, walau bukan malam minggu, selepas pergantian hari, masih banyak dijumpai kerumunan-kerumunan orang di berbagai ruang.
Bila engkau ke Yogya, rasanya belumlah lengkap jika tak mencicipi suasana titik nol, sekaligus mengabadikan keberadaanmu di sini melalui kamera. Satu hal yang barangkali membuat ketidaknyamanan yang dirasakan namun jarang diungkapkan adalah saat panggilan biologis menyapa untuk buang air kecil atau buang air besar. Ya, tidak tersedia tempat untuk melepas hajat semacam itu. Pernah memang beberapa waktu, ada mobil untuk buang hajat di trotoar sebelah timur tempat Kobar duduk saat ini, sepertinya tepat berhadapan dengan pintu masuk ke Kantor Pos besar di seberang jalan bagian selatan. Entah karena dianggap merusak pemandangan mata, atau ada alasan lain, tempat itu telah dipindah entah kemana.
Kobar merasakan ada kebahagiaan dalam dirinya. saat tahu waktu yang tepat, dalam kesadaran atas keinginan untuk bersandar. Menikmati pikiran menerawang, melayang-layang menyibak halaman demi halaman yang telah tertorehkan sebagai jejak perjalanan, dari yang disaksikan, didengar dan dialami sendiri. Kembali. Berpijak dan bermula dari nol. Selanjutnya merangkak, menapaki siklus kehidupan, dengan irama waktu yang sama, namun bagaimana menjadikan lebih bermakna.
Waktu yang tepat dan tempat yang tepat. Begitulah dipikir oleh Kobar. Inilah ruang pertemuan masa lalu dan masa kini. Ruang tradisi dan modernisasi. Ruang kekuasaan dan kerakyatan. Ruang komunikasi dan ruang ekonomi. Ruang yang menjadi saksi perubahan demi perubahan yang terjadi pada kota ini. (bersambung)
Bagian (2) dari GEJOLAK RASA
kalau ke Yogya yang pasti belum lengkap kalau belum ketemu Pak Odi hehehe :thanks2
Ha.ha.h.a.ha..ha.ha
heeemmm…jadi kangen Jogja…dulu ku sering nongkrong di sta tugu…hahaha…

Ayo, segera ke Yogya Mbak Ayu..
Baru tiga kali berkunjung ke Jogja dan masih berminat untuk ke sana lagi. Yang berikutnya sekalian ingin ketemu Mas Odi.
Wah, asyik.. kontak-kontak kalau ke Yogya ya Mbak yety…
Manstaf 🙂