Budaya  

Budaya Antri Di Indonesia Dibandingkan Dengan Jepang

Dalam kehidupan modern yang makin cepat, budaya antre menjadi salah satu indikator penting dari kedewasaan sosial suatu bangsa. Budaya ini bukan hanya tentang berdiri dalam barisan, tetapi tentang penghargaan terhadap waktu, keadilan, dan rasa hormat terhadap orang lain. Indonesia dan Jepang—dua negara Asia yang sama-sama punya akar budaya timur—menunjukkan kontras yang tajam dalam hal ini. Mengapa antre bisa menjadi hal yang sakral di Jepang, namun masih sering disepelekan di Indonesia?


1. Budaya Antri: Antara Nilai Sosial dan Realitas Lapangan

Indonesia: Ketika Aturan Harus Ditegakkan

Budaya antre di Indonesia sering kali terwujud hanya karena adanya sistem paksa atau pengawasan petugas. Di stasiun kereta, kantor pemerintahan, atau bahkan di tempat ibadah, antre menjadi “kewajiban administratif” alih-alih refleksi kesadaran.
Studi Litbang Kompas (2018) mencatat bahwa 61% responden di kota-kota besar Indonesia pernah mengalami orang menyerobot antrean. Masalah ini berakar pada rendahnya kepatuhan sosial serta pandangan pragmatis: “Kalau bisa cepat, kenapa harus menunggu?”

Jepang: Disiplin Tanpa Diawasi

Sebaliknya, masyarakat Jepang menjadikan antre sebagai norma sosial tak tertulis. Tak ada petugas yang harus berteriak, tak perlu pagar pembatas. Bahkan saat menghadapi bencana besar seperti gempa atau tsunami, masyarakat tetap antre dengan tertib demi logistik atau evakuasi.
Menurut laporan World Economic Forum (2021), Jepang termasuk dalam lima besar negara dengan kesadaran sosial tertinggi terhadap urutan dan keadilan layanan publik.


2. Faktor Pendidikan dan Nilai Budaya yang Mengakar

Di Jepang: Disiplin Dibentuk Sejak Dini

Budaya antre di Jepang tumbuh dari sistem pendidikan yang menekankan kerja sama, disiplin, dan tata krama. Sejak taman kanak-kanak, anak-anak dilatih untuk bergiliran, menyusun sandal, dan menyusun bekal. Mereka bertugas bergantian melayani makan siang, membersihkan kelas, dan memahami konsep “mendahulukan orang lain”.

Kata kunci di sini adalah “haji” (malu) dan “meiwaku” (mengganggu orang lain). Masyarakat Jepang menghindari segala tindakan yang bisa memalukan diri sendiri atau mengganggu keteraturan umum.

Di Indonesia: Nilai Ada, Praktik Tak Konsisten

Secara nilai, masyarakat Indonesia tidak kekurangan ajaran sopan santun. Namun, sistem pendidikan kita belum menekankan praktik sosial dalam kehidupan nyata secara konsisten. Budaya antre jarang dijadikan bagian dari kurikulum karakter, bahkan di banyak sekolah, antre makan atau ambil air masih bisa dilanggar tanpa konsekuensi.

Sosiolog UI, Imam Prasodjo, dalam salah satu wawancara tahun 2019 menyatakan:

“Kita punya nilai gotong royong, tapi sering kebingungan mempraktikkannya dalam sistem sosial modern seperti antre. Di sinilah pendidikan karakter kita masih belum berfungsi optimal.”


3. Infrastruktur Pendukung: Antara Fasilitas dan Mindset

Jepang: Rapi Karena Terbiasa

Di Jepang, infrastruktur dibangun seolah sudah tahu masyarakat akan mengikutinya. Marka antrean di peron, jalur panah arah, hingga sistem suara pengingat dibuat untuk memudahkan tanpa menyuruh. Di setiap pintu masuk kereta, sudah jelas di mana berdiri dan kapan naik.

Indonesia: Masih Mengandalkan Pengawasan

Indonesia mulai meniru sistem ini, terutama di kota besar. Contohnya: TransJakarta mulai menerapkan marka kuning antrean, dan beberapa terminal sudah mengadopsi sistem antre elektronik. Tapi masih sering ditemui pelanggaran karena pengawasan lemah, serta mental “asal cepat dilayani.”

Infrastruktur di Indonesia kadang kalah cepat dari insting masyarakat untuk menyerobot. Tanpa tekanan sosial yang cukup, marka di lantai hanya menjadi gambar tanpa arti.


4. Budaya Malu vs Budaya Tak Enakan

Perbedaan psikologis budaya antre antara Jepang dan Indonesia juga menyentuh dimensi emosional.

  • Di Jepang, budaya malu (haji) membuat orang berpikir dua kali untuk melanggar. Bahkan saat tidak ada yang melihat, masyarakat tetap tertib karena takut dianggap tidak sopan.

  • Di Indonesia, budaya “tidak enakan” justru sering mengaburkan keadilan. Misalnya, saat orang tua atau kerabat “nitip antre” dan kita segan menolak, meski itu melanggar sistem. Hal ini membuat masyarakat kesulitan menegakkan haknya tanpa merasa tidak sopan.


5. Upaya Perbaikan dan Tantangan ke Depan

Beberapa langkah mulai dilakukan di Indonesia, antara lain:

  • Digitalisasi antrean di layanan publik (disdukcapil, rumah sakit, perbankan).

  • Kampanye sosial, seperti program “Antri itu Keren” di beberapa kota.

  • Pendidikan karakter di sekolah, walaupun masih terbatas.

  • Penerapan reward dan punishment di area layanan publik.

Namun, tantangan terbesar tetaplah pembentukan kesadaran kolektif. Budaya antre tidak bisa hanya diatur lewat sistem atau petugas, melainkan harus tumbuh dari dalam masyarakat.


Kesimpulan: Menuju Antrean yang Bermartabat

Budaya antre adalah indikator kecil, tapi signifikan, dalam menggambarkan kematangan sosial suatu bangsa. Jepang menunjukkan bahwa antre bukan hanya sistem teknis, tapi bagian dari nilai hidup: menghargai hak orang lain, percaya pada sistem, dan menjaga keharmonisan bersama.

Indonesia masih dalam proses menuju ke sana. Pendidikan yang lebih terintegrasi, keteladanan publik, serta infrastruktur yang bersahabat bisa menjadi awal. Namun tanpa perubahan mentalitas dan kebiasaan sehari-hari, semua sistem hanya akan jadi simbol kosong.

Jika ingin menjadi masyarakat yang maju, antre bukan hanya harus dilakukan—tetapi diyakini. Bukan karena takut dihukum, melainkan karena kita sadar bahwa tertib itu tanda hormat, dan tertib adalah bagian dari peradaban.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *