Ini Statusku, Boleh, Kan?

00.00 di titik nol.

Tidak ada yang istimewa memang, lantaran waktu selalu setia meniti perjalanan dengan irama yang tidak pernah berubah Namun bagi Kobar, saat ini adalah waktu yang sempurna. Melalui HP jadul dari merek dan produk perusahaan yang telah bangkrut, jemari Kobar memainkan tuts keyboard dan terpublislah kalimat pendek itu di akun jejaring sosial yang selalu setia bertanya tentang apa yang dipikirkan. Kobar sadar, apa yang tertulis tidaklah valid lagi, sebab detak detik terus berjalan seiring jemari menuangkan angka-angka dan huruf. Ia yakinkan bahwa teman-teman di jejaring social pastilah tidak akan teliti atau lebih tepatnya tidak akan peduli. Apa yang ditulis dalam status, setidaknya bukan kebohongan lantaran peristiwa yang tertuang memang telah dijalani. Saat pertama ia mengeluarkan HP dari saku celananya, memencet satu tombol sembarangan yang melahirkan cahaya pudar yang memancar telah membantu matanya untuk melihat angka yang tertera pada penanda waktu: 00.00

Statusnya telah mendapatkan respon. Ada beberapa tanda “suka” yang memang perlu dipahami bukan berarti benar-benar menyukai status yang kita buat. Tanda itu, dapat menjadi tanda kehadiran dan sapa kawan-kawan dijejaring sosial. Seakan ia hendak berkata “Aku hadir!”.  Hadir kerap pula belum tentu membaca. Apalagi bila status panjang yang menyapa. Ah, engkau pastilah pernah menjadi pelaku, bukan?

Komunikasi di jejaring sosial memang unik. Kadang dapat menimbulkan salah paham. Cobalah engkau membuat status tentang rasa duka, misalnya sakit atau kabar tentang seseorang yang meninggal dunia. Tentu akan banyak yang mengklik tanda “suka” atau kerap disebut meninggalkan jempolnya. Jempol bukan berarti senang terhadap kabar buruk yang engkau sampaikan. Jempol, tanda kehadiran, sebaiknya dipahami saja demikian. Bila memahami berlebihan, bukan tidak mungkin malah terjadi perselisihan lantaran salah paham. Misalnya seseorang yang tengah mengeluh sakit, pernah mempersoalkan kawan-kawannya yang hanya memberikan tanda “suka’. “Kalian suka saya sakit?” dan ramailah komentar yang barangkali tidak diperlukan. Soal ini pula, para blogger banyak yang telah menuliskan tentang etika memberi tanda “suka” dengan argument-argumennya yang sesuai dengan nilai-nilai dalam kehidupan nyata. Hasilnya, ah, tetap saja, pada berita duka, berhimpun torehan jempol. Dan patutlah kita mengucapkan terima kasih atas sapa kawan-kawan di dunia maya tersebut. Lebih bersyukur lagi, walau kadang tidak nyambung, hadir komentar-komentar.

Soal klik “suka” selain unik kadang lucu dan menyedihkan. Tidak jarang banyak orang merasa sangat sedih tatkala meng-update satus, membuat catatan, memposting foto-foto atau menorehkan link-link tertentu, sangat sepi dari klik “suka”. Orang dapat merasa gagal atau tidak mendapatkan perhatian kawan-kawannya. Jadi, tidak mengherankan apabila seseorang dapat mengemis kepada kawan-kawannya melalui inbox untuk memberikan komentar atau setidaknya klik “suka”. Tentu mengenaskan, bukan?

Apalagi bila terkait dengan lomba-lomba yang banyak dihadirkan melalui jejaring sosial, dengan menentukan jumlah terbanyak klik “suka” untuk memilih dan menentukan para pemenangnya. Kualitas macam apa yang dihasilkan? Sama halnya dengan lomba-lomba yang menggantungkan dirinya pada jumlah sms yang masuk.  Di satu sisi, seolah para audience dilibatkan secara penuh menjadi subyek penentu bagi para pemenang, yang patut dicurigai pula untuk meraup keuntungan, dan di sisi  lain barangkali saat kita membuat lomba tidak memerlukan lagi orang-orang yang dinilai memiliki kompetensi atas wilayah lomba untuk memberikan penilaian.

Dunia memang terus bergerak. Perubahan demi perubahan tidak dapat dielakkan. Betapa jejaring sosial telah menjadi media baru bagi orang-orang untuk tampil ke hadapan orang lain, untuk sekedar berekspresi melalui torehan status-status atau narsis dalam foto-foto, lebih serius lagi menjadikan sebagai wadah penyebarluasan gagasan melalui catatan-catatan atau karya-karya fiksi, atau menjadikan sebagai tempat curahan hati, tempat bersandar luapkan segala emosi, atau menjadikan jejaring sosial sebagai media peperangan atas sesuatu  sehingga mengalirlah “peluru-peluru” yang meledak atau “perisai-perisai” penolak bala atau sengaja melakukan “penyesatan informasi”, atau memerankan sebagai tokoh bijak untuk berbagi menjadi penyemangat dan memberikan pintu-pintu guna mensiasati persoalan kehidupan yang tengah menghadang, atau menjadi ruang pertobatan di hadapan public, atau… dan terserah sajalah engkau menempatkan jejaring sosial ini sebagaimana engkau inginkan. Merdeka-merdeka sajalah.

Terpasti, jejaring sosial, facebook misalnya, telah menjadi ruang merdeka bagi siapa saja untuk ber-apa saja, yang bukan hanya menghipnotis orang-orang pengangguran guna memanfaatkan waktu luang yang banyak, melainkan telah menarik jutaan orang sibuk untuk mengarungi dunia maya yang nyata. Lihat saja para politisi – entah dijalankan sendiri atau oleh staff khusus – telah menjadikan ruang publik ini untuk menebar pesona dan membangkitkan gairah menjadi pengikutnya, begitu pula para selebriti, pejabat publik, seniman, pengusaha, dan ya, siapa saja…

Facebook memang telah menjadi kerumunan yang luar biasa sesak, panas terasa, membosankan sesekali muncul, kadang ada kemuakan, berusaha lari, namun tetap kembali lagi. Hm, kecenderungan yang berlangsung tak lebih dari lima tahun terakhir.

Berbeda dengan jejaring sosial sebelumnya, seperti friendster, yang diramaikan oleh orang-orang yang suka berinteraksi di dunia maya untuk mendapatkan perkawanan baru, dan para selebritis untuk menjaga dan menarik fans-fans baru, “orang-orang serius’ kerap melecehkan para pengguna sebagai orang yang kurang kerjaan.

Apapun itu, facebook memang telah menjadi Negara tersendiri, bermain dalam maya, berpengaruh luar biasa bagi kehidupan nyata. Ah, ada twitter…. Ada blog keroyokan Kompasiana, ada Baltyra, ada Ketak-ketik…. Tapi, jujur sajalah, pasti akan terhubung pula dengan facebook.

Kobar tertawa sendiri. Ah, soal ini, mengapa harus dipersoalkan panjang lebar. Dinikmati sajalah, dan tak perlu berpura-pura sok suci, atau mencari pembenaran-pembenaran untuk menjustifikasi keberadaan di dunia maya yang nyata. Seperti ia ingin menikmati malam ini, tak perlu mencari alasan mengapa dan untuk apa, bukan?   Jadi, ah, sudahlah, buat apa dipikir berat-berat. Lihat saja, Kobar sudah asyik menikmati malam. Matanya menjelajah kian kemari. Sambil sesekali menghela nafas panjang. Lalu mel Jadi, ah, sudahlah, buat apa dipikir berat-berat. Lihat saja, Kobar sudah asyik menikmati malam. Matanya menjelajah kian kemari. Sambil sesekali menghela nafas panjang. Lalu melihat lagi akun-nya di hp jadul. Ahai, ada komentar dari s1ter4ngmenc4r1c1nt4sejat1 “Ngapain, mbah?”

“Mencari cinta sejati sembarangan,” jemari kobar lincah pula menjawab komentar.

(Bersambung)

Bagian (1) dari GEJOLAK RASA

Related posts