Di tengah dinamika sosial Jawa Barat, sebuah kisah toleransi dan kemanusiaan muncul dari langkah tegas Kang Dedi Mulyadi. Gubernur Jawa Barat ini turun tangan membantu pelunasan kredit macet sebuah gereja di Kabupaten Cianjur yang terancam disita oleh bank akibat tunggakan hingga Rp6 miliar. Keputusan Kang Dedi bukan hanya soal menyelamatkan sebuah bangunan ibadah, tetapi juga menjaga harmoni antarumat beragama dan mencegah potensi gesekan sosial yang bisa timbul jika penyitaan benar-benar terjadi.
1. Latar Belakang Kasus
Pada awal Agustus 2025, Pendeta Paripurna Simatupang dari sebuah gereja di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, mendatangi Kang Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, untuk menyampaikan permasalahan serius: gereja yang menjadi pusat kegiatan ibadah jemaat mereka sedang terancam disita oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Aset gereja sebelumnya dijadikan jaminan pinjaman bank, namun akibat keterbatasan dana dan kesulitan ekonomi, cicilan kredit macet hingga total tunggakan mencapai Rp6 miliar. Proses hukum sudah berjalan, dan BPR siap melelang tanah dan bangunan gereja jika utang tidak dilunasi.
2. Reaksi dan Respons Cepat Kang Dedi
Mendengar keluhan itu, Kang Dedi langsung merespons dengan sikap yang mencerminkan komitmen pada nilai kemanusiaan dan kerukunan umat beragama. Ia mengatakan bahwa menyelamatkan gereja lebih masuk akal dibanding membiarkannya disita, karena:
-
Biaya membangun kembali gereja dari awal akan jauh lebih besar daripada melunasi utang yang ada.
-
Proses hukum dan penyitaan aset ibadah bisa memicu gesekan sosial yang tidak diinginkan.
-
Gereja tersebut bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat kegiatan sosial bagi warga sekitar.
“Kalau ini disita, membangun kembali itu biayanya jauh lebih besar. Lebih baik kita selesaikan utangnya,” ujar Kang Dedi.
3. Langkah Konkret yang Diambil
Kang Dedi tidak hanya memberikan simpati, tetapi juga mengambil langkah konkret:
a. Fasilitasi Penggalangan Dana
-
Ia akan menghimpun bantuan dari para pengusaha Kristen, tokoh masyarakat, dan donatur lain di Jawa Barat.
-
Pendekatan yang digunakan adalah gotong royong lintas iman, di mana masalah satu komunitas menjadi tanggung jawab moral semua warga.
b. Pendekatan ke Pihak Bank dan Pengadilan
-
Kang Dedi berencana bertemu pihak pengadilan untuk meminta penundaan proses lelang, agar ada waktu mengumpulkan dana.
-
Pendekatan kepada pihak BPR dilakukan untuk mencari opsi restrukturisasi atau perpanjangan masa pelunasan.
c. Pendampingan Hukum
-
Tim dari pemerintah daerah akan memantau proses hukum agar tidak terjadi penyitaan yang melanggar hak asasi atau memperkeruh suasana.
4. Dampak Sosial dan Simbolik
Kasus ini memiliki makna yang melampaui persoalan utang:
-
Simbol Toleransi Beragama
Langkah Kang Dedi menunjukkan bahwa urusan kemanusiaan dan keadilan sosial melampaui sekat agama. Ia, sebagai pejabat Muslim, membantu menyelamatkan rumah ibadah umat Kristen. -
Membangun Kepercayaan Publik
Aksi ini menguatkan citra Kang Dedi sebagai pemimpin yang responsif dan berani mengambil keputusan cepat. -
Efek Domino Solidaritas
Penggalangan dana berpotensi melibatkan lebih banyak pihak di luar komunitas Kristen, sehingga mempererat hubungan antar umat beragama di Jawa Barat.
5. Tantangan dan Potensi Hambatan
Walaupun inisiatif ini mendapat sambutan positif, ada sejumlah tantangan:
-
Waktu yang terbatas untuk melunasi utang sebelum proses lelang.
-
Koordinasi lintas pihak (bank, pengadilan, donatur) yang memerlukan komunikasi intensif.
-
Isu politik — mengingat Kang Dedi adalah figur publik, langkah ini mungkin dipolitisasi.
6. Kesimpulan
Kasus ini bukan sekadar urusan kredit macet, tetapi ujian empati dan solidaritas sosial di tengah masyarakat yang beragam. Kang Dedi Mulyadi, dengan pengalamannya sebagai tokoh publik yang dekat dengan rakyat, berhasil mengubah potensi konflik menjadi momen persatuan.
Jika berhasil, aksi ini akan menjadi contoh nyata bahwa toleransi tidak hanya diucapkan, tetapi diwujudkan lewat tindakan nyata.