Raja Ampat: Surga yang Terancam
Raja Ampat di Papua Barat Daya dikenal dunia sebagai surga bawah laut dengan biodiversitas laut tertinggi di bumi. Namun belakangan, keindahan ini terancam oleh aktivitas pertambangan yang merambah kawasan konservasi. Tak hanya tambang legal, praktik penambangan ilegal juga semakin marak, mengancam ekosistem dan kehidupan masyarakat lokal.
Tambang Nikel: Kepentingan Ekonomi vs Lingkungan
Sejak 2017, aktivitas tambang nikel kembali diizinkan di Pulau Gag, salah satu pulau di gugus Raja Ampat. PT Gag Nikel, anak usaha dari PT Antam (BUMN tambang), menjadi operator utama. Meski berstatus legal, eksploitasi ini menimbulkan kekhawatiran besar.
Penebangan hutan, sedimentasi yang merusak terumbu karang, hingga pencemaran air laut menjadi ancaman serius. Padahal, terumbu karang di Raja Ampat mencakup 75% dari total spesies karang dunia. Jika rusak, bukan hanya ekosistem yang musnah, tetapi juga sektor pariwisata dan mata pencaharian nelayan setempat.
Pencabutan Izin Tambang: Langkah Awal yang Penting
Pada awal Juni 2025, pemerintah pusat melalui Kementerian Investasi/ESDM mencabut izin empat perusahaan tambang nikel yang dinilai tidak memenuhi kewajiban administrasi, yaitu:
-
PT Kawei Sejahtera
-
PT Anugerah Surya Pratama
-
PT Mulia Raymond Perkasa
-
PT Nurham
Sementara itu, kegiatan PT Gag Nikel dihentikan sementara sambil menunggu audit lingkungan dan evaluasi perizinan.
Langkah ini diapresiasi oleh banyak pihak, namun masih dianggap belum cukup. Sebab, banyak Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang masih aktif di kawasan konservasi.
Tambang Emas Ilegal: Ancaman Lain yang Tak Terlihat
Selain tambang resmi, Raja Ampat juga dibayangi oleh aktivitas tambang emas ilegal. Pada Desember 2024, lima pelaku ditangkap di kawasan hutan lindung karena menambang tanpa izin. Polisi menyita alat dompeng dan emas kasar seberat hampir 1 gram.
Meski terlihat kecil, kegiatan ilegal ini mencemari air, merusak tanah, dan menimbulkan kerugian ekologis besar. Praktik ini juga menyulitkan pengawasan, karena melibatkan oknum yang tersembunyi di balik rantai pasok tambang gelap.
Benturan Kepentingan: Antara Konservasi dan Eksploitasi
Sebagian besar wilayah Raja Ampat telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut dan darat. Namun, pengelolaan izin tambang tetap berada di tangan pemerintah pusat. Ketimpangan ini memicu konflik antara kepentingan ekonomi nasional dan kebutuhan perlindungan lingkungan daerah.
Tambang nikel memang dibutuhkan untuk industri baterai kendaraan listrik (EV) global, tapi mengorbankan ekosistem Raja Ampat demi pasokan nikel jelas bukan pilihan bijak.
Masyarakat dan Lingkungan: Siapa yang Melindungi?
Masyarakat adat dan nelayan lokal sudah lama menyuarakan kekhawatiran mereka. Penurunan hasil tangkapan laut dan gangguan habitat merusak keseimbangan hidup mereka. Banyak yang berharap pemerintah mengedepankan konservasi, bukan eksploitasi.
Organisasi lingkungan seperti Greenpeace, Walhi, dan Yayasan Konservasi Indonesia terus mendorong transparansi AMDAL, penghentian IUP di kawasan konservasi, dan pembangunan ekonomi alternatif yang berkelanjutan.
Kesimpulan: Menyelamatkan Raja Ampat, Tanggung Jawab Bersama
Raja Ampat adalah warisan alam yang tak ternilai, bukan hanya bagi Indonesia, tapi dunia. Ancaman dari tambang—baik legal maupun ilegal—harus dihentikan sebelum kerusakan menjadi tak terpulihkan.
Langkah awal pencabutan izin tambang oleh pemerintah patut diapresiasi, namun harus diikuti dengan audit lingkungan menyeluruh, keterlibatan masyarakat adat, dan penguatan peraturan tata ruang.
Alih-alih mengejar keuntungan jangka pendek, Indonesia punya kesempatan besar menunjukkan kepemimpinan global dalam melindungi ekosistem dan mendorong ekonomi hijau. Menjaga Raja Ampat berarti menjaga masa depan.