Kesedihan Spektakuler

LELAKI itu ikhtiar lelapkan batinnya, tak jua sanggup tertidur. Ia bujuk jiwa, tak jua mampu adem. Ia perih, ingat kakak sedang di lapas, sebagai tapol. Ia kenang saudara lainnya, yang rumahtangganya di ufuk. Belum lagi, sakit-sakitan melandanda-landa di permula usia 40-annya. Tertatih ia, mendudukkan batinnya, mengajaknya berdiri. Ia tetap gagal, gontai, lemas, layu dan sedih-sedihnya kian mengokoh saja.

jameyjohson.type.com
jameyjohson.type.com

Meninggi-ninggi rapuhnya sang jiwa, membesar-besar pulalah cita-cita untuk titikkan air mata. Dan, aspirasi inginnya itu, tergapai sudah. Sembab pipinya, dilinagi air mata yang berluberan. Titik-titik air mata itu, berkontemplasi. Membuahi berbagai memori getir, medigdayakan kembali sepuhnya lara itu, kembali seolah di depan wajahnya. Makin terseduh kala Lirik-lirik Minangkabau menempel di gendang telinganya. Dara Minang itu, menumpahkan air mata lelaki itu laksana bah yang tumpah dari jendela langit. Yah, larik-larik melankolik itu divisualisasikan dengan sangat ciamik, dialah Ratu Sikumbang. Si Pembuat lelaki itu menguras air matanya.

Sesampai di gerbang akhir kesedihan itu, antiklimaks dengan rindunya pada Rasulullah Sallalahu Alaihi Wasallam. Sedih di awal subuh itu, ia luruhkan segala derita kalbunya, lulur bak daki yang sekian puluh tahun menginapi sukmanya. 

Manusia manakah yang tiada pernah disentak keras oleh tangis, lara dan kekeringan jiwa. Itu yang ia persoalkan dan pertanyakan terhadap dirinya sendiri. Ia berdialog dengan pikirannya sendiri, batinnya sendiri. Lalu, ia segera mengusap-usap wajahnya, sembari menuju ruang sholat di rumahnya. Ini pertanda peristiwa sehari-hari, yang sungguhlah spektakuler. Air wudhu telah membasuh wajah, lengan, ubun-ubun kesadaran.

Iapun dengan sepenuh sadar dan ia akhiri segala ini dengan sebuah senyum yang sangat manis. ia berbisik ke dirinya sendiri: “Hamba bersyukur karena hamba sanggup bersedih. Ini pertanda hamba dikaruniai kepekaan rasa, sensitifitas batin. Sebab, aku beruntung memiliki kepekaan itu. Sebab lagi, berjuta-juta orang, beribu-ribu manusia, hanya mampu saksikan dengan mata kepalanya sendiri atas peristiwa tabrakan ideologi, kematian interaksi, pembunuhan-pembunuhan, pemerkosaan. Mereka malah tertawa-tawa, tak sedih. Sebuah kesalah-lokasi akan arti sebuah peristiwa”.

Dan sepertinya perkara kesedihan sejati, perlu dilatih dan dilatih. Bukan diajarkan. Bukan pula, hal sederhana, sebab sedih dan bahagia itu adalah peristiwa spektakuler kadang manusia tiada peduli akan hakikat semua itu^^^

 

Related posts