Di sebuah desa kecil bernama Sukasari, Kecamatan Dawuan, Kabupaten Subang, lahirlah sosok yang kelak dikenal luas sebagai tokoh politik berpengaruh di Jawa Barat—Kang Dedi Mulyadi. Terlahir pada 11 April 1971 dari keluarga sederhana, anak bungsu dari sembilan bersaudara ini tumbuh di tengah kehidupan agraris yang sarat nilai gotong royong. Jalanan tanah, hamparan sawah, dan suara kokok ayam menjadi saksi perjalanan masa kecilnya yang penuh keterbatasan, namun justru melahirkan karakter tangguh, disiplin, dan rasa empati yang kuat. Dari sanalah, langkah kecilnya perlahan menapaki perjalanan panjang menuju panggung politik, mengubah nasibnya dari anak desa menjadi pemimpin yang disegani.
Lahir dari Kesederhanaan
Kang Dedi Mulyadi atau KDM lahir pada 11 April 1971 di Desa Sukasari, Kecamatan Dawuan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Ia adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara. Ayahnya, Sahlin Ahmad Suryana, adalah pensiunan prajurit TNI yang berhenti lebih awal karena sakit. Ibunya, Karsiti, adalah aktivis Palang Merah Indonesia yang tak pernah duduk di bangku sekolah, tetapi memiliki jiwa sosial yang tinggi.
Kehidupan keluarganya sederhana—rumah panggung dengan lantai papan, penerangan seadanya, dan perabot rumah tangga yang minim. Namun, dari lingkungan seperti inilah Dedi belajar arti disiplin, empati, dan kerja keras.
Proses Kelahiran yang Penuh Perjuangan
Kehadiran Dedi di dunia diawali perjuangan panjang. Ibunya mengalami proses persalinan selama tiga hari tiga malam dengan bantuan bidan desa. Lahir dalam kondisi serba terbatas, Dedi tumbuh di lingkungan agraris yang dikelilingi sawah, ladang, dan jalan tanah.
Pendidikan Karakter dari Orang Tua
Ayahnya menanamkan disiplin ala militer—bangun sebelum matahari terbit, membersihkan rumah, dan membantu pekerjaan di kebun atau sawah. Sementara ibunya mengajarkan kesabaran, kepedulian sosial, dan keikhlasan. Nilai-nilai inilah yang kelak menjadi fondasi kepemimpinannya.
Masa Sekolah Dasar: Awal Menjadi Pemimpin Kecil
Dedi memulai pendidikannya di SD Negeri Sukasari. Tahun pertama ia sempat tidak naik kelas karena sering sakit, namun bukannya menyerah, ia justru bangkit dan menempati peringkat pertama di tahun-tahun berikutnya.
Teman-temannya mengenalnya sebagai anak yang pandai berbicara dan suka memimpin. Saat bermain perang-perangan, ia selalu memilih menjadi komandan, bukan prajurit. Guru-gurunya pun sering mempercayakannya menjadi ketua kelas.
Selain berprestasi di akademik, ia aktif mengikuti lomba pidato, dakwah, membaca puisi, dan kesenian Sunda. Mental percaya diri dan keberaniannya berbicara di depan umum sudah terbentuk sejak usia belia.
Perjuangan Menuju SMP: 20 Kilometer Setiap Hari
Setelah lulus SD, Dedi melanjutkan pendidikan di SMP Negeri di daerah Cikampek. Tantangannya bertambah berat—jarak rumah ke sekolah sekitar 20 kilometer pulang-pergi. Ia menempuhnya dengan sepeda tua yang dibeli dari hasil menjual seekor kambing peliharaan.
Perjalanan ini tidak mudah: jalanan sebagian masih tanah berbatu, becek saat hujan, dan minim penerangan di pagi hari. Namun, perjalanan panjang itu justru melatih fisiknya dan menguatkan tekadnya untuk belajar.
Kebiasaan Puasa dan Tirakat Sejak Muda
Sejak duduk di bangku SD, Dedi sudah terbiasa puasa Senin–Kamis. Saat SMA, ia mulai melakukan puasa tirakat, seperti puasa mutih (hanya makan nasi putih) hingga puasa tanpa gula dan garam selama 40 hari.
Bagi Dedi, tirakat bukan hanya ibadah, tapi juga latihan mental untuk mengendalikan diri dan membiasakan hidup sederhana. Disiplin spiritual ini membentuk ketangguhan batinnya menghadapi kesulitan.
Masa SMA: Awal Menempa Mental Mandiri
Ketika melanjutkan pendidikan di SMA Negeri di Cikampek, beban hidupnya semakin berat. Ia mulai terlibat dalam organisasi sekolah dan kegiatan seni. Meski belum bekerja secara penuh, ia sudah terbiasa membantu orang tua mencari tambahan uang dengan ikut membantu tetangga atau menjual hasil kebun kecil-kecilan.
Dedi mulai dikenal di lingkungannya karena kepiawaiannya berpidato dan memimpin kegiatan. Jiwa organisasinya semakin matang—sebuah modal penting yang kelak mengantarkannya ke panggung politik.
Jembatan Menuju Dunia Politik
Sebelum menjadi Anggota DPRD Purwakarta, Dedi melalui fase hidup yang penuh pembentukan karakter:
-
Dari keluarga sederhana, ia belajar arti kerja keras dan empati.
-
Dari perjalanan sekolah yang jauh, ia belajar ketekunan.
-
Dari puasa dan tirakat, ia belajar disiplin spiritual.
-
Dari organisasi sekolah, ia belajar memimpin dan berkomunikasi.
Semua pengalaman ini menjadi bekal penting ketika ia mulai terjun ke dunia politik di usia muda.
Masa Kuliah: Hidup di Kontrakan Reyot
Setelah lulus SMA, Dedi Mulyadi memiliki cita-cita menjadi prajurit TNI seperti ayahnya. Ia mendaftar ke AKABRI dan Secaba TNI AD, namun gagal di tahap seleksi. Meski sempat kecewa, ia tidak menyerah. Ia memilih merantau ke Purwakarta untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Purnawarman.
Di Purwakarta, kehidupan Dedi jauh dari kata nyaman. Ia tinggal di kontrakan kecil yang dindingnya sudah lapuk, tanpa tempat tidur, hanya beralaskan lantai. Selama tiga tahun, kondisi ini menjadi bagian dari kesehariannya. Sering kali ia harus berhemat ekstrem, bahkan pernah tiga hari tidak makan nasi karena tidak punya uang.
Menghidupi Kuliah dengan Usaha Kecil-Kecilan
Untuk membiayai kuliahnya, Dedi melakukan berbagai pekerjaan:
-
Menjaga kantin kampus
-
Menjual layangan
-
Menjual es dan agar-agar
-
Menjadi tukang ojek
-
Membantu mengelola acara kampus dan organisasi mahasiswa
Hasil dari usaha kecil-kecilan ini ia gunakan bukan hanya untuk kebutuhan pribadi, tetapi juga untuk membantu operasional Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), organisasi yang ia ikuti saat kuliah.
Aktif di Organisasi: Latihan Kepemimpinan Nyata
Di kampus, Dedi bukan mahasiswa biasa. Ia aktif di HMI Cabang Purwakarta dan sering terlibat dalam diskusi politik, sosial, dan hukum. Kegiatannya di organisasi membentuk kemampuan lobi, manajemen acara, dan strategi komunikasi.
Ia juga kerap menjadi pembicara di forum mahasiswa, memanfaatkan kemampuan public speaking yang sudah terasah sejak kecil. Aktivitas organisasi inilah yang menjadi batu loncatan awal untuk terjun ke dunia politik.
Jaringan Sosial yang Mulai Terbentuk
Dari kegiatan organisasi, Dedi mulai dikenal oleh tokoh-tokoh lokal Purwakarta. Ia menjalin hubungan baik dengan aktivis, pemuda, bahkan politisi daerah. Jaringan inilah yang kelak membuka jalan baginya untuk masuk ke kancah politik formal.
Langkah Awal di Dunia Politik
Menjelang akhir masa kuliahnya, Dedi semakin aktif mengikuti kegiatan sosial di Purwakarta. Ia membantu masyarakat desa dalam urusan hukum, menjadi fasilitator kegiatan pemuda, dan sering diminta menjadi juru bicara dalam acara-acara penting.
Dengan latar belakang hukum, kemampuan orasi, dan jejaring yang ia bangun, Dedi mendapat tawaran untuk maju sebagai calon Anggota DPRD Purwakarta dari Partai Golkar.
Terpilih Menjadi Anggota DPRD Purwakarta
Dedi maju di pemilihan legislatif tingkat kabupaten dan berhasil mendapatkan kepercayaan masyarakat. Ia pun resmi menjadi Anggota DPRD Purwakarta periode pertamanya. Dari sini, karier politiknya terus menanjak hingga kelak menjadi Wakil Bupati, Bupati Purwakarta, dan politisi nasional.
Perjalanan Dedi Mulyadi dari masa kecilnya di Desa Sukasari hingga duduk di kursi DPRD adalah kisah perjuangan yang diwarnai kegigihan, kesabaran, dan tekad baja. Ia membuktikan bahwa latar belakang sederhana bukan halangan untuk menapaki tangga kesuksesan, asalkan mau bekerja keras, membangun jaringan, dan tidak mudah menyerah.