Si Mantan penulis itu pernah berdialog dengan dirinya sendiri, berefleksi, ia bertanya: “Perkara apakah yang paling mudah dalam menulis? Ia jawab sendiri: “Rasanya tidak ada”. Ia lanjutkan pertanyaannya: “Perkara apakah yang paling susah dalam menulis? Ia jawab lagi: “Wah kalau susahnya banyak gak kehitung”. Lalu ia, mendengar suara dari jendela: “Berhentilah jadi penulis. Kamu gak ada bakat menulis karena kamu disusahi. Menulis itu wajib dimudahkan, bukan malah bikin susah. Kamu akan mati karena menulis, sebab nyatanya menulis itu menyusahkanmu. Sering-sering kesusahan itu alamat mati, itulah yang disebut mati karena susah, mati karena menulis”.
Si Tua itu kaget, berjanji, be-RESOLUSI, gak akan menganggap lagi menulis itu susah. Mulailah ia menulis dan menulis, toh kata dia, menulis hanyalah kumpulan huruf-huruf, huruf itu juga cuman hitungan puluhan, bukan jutaan. Ia kian nyaman menulis, kian menghiburnya, kian melonggarkan ruang dadanya. Tak ada lagi sekecil zarrahpun menjadi hambatan dalam menulis.
Ia benar-benar menikmati hari-harinya, menulis dan menulis lagi. Tak peduli ada yang baca atau gak, Prinsip terburuknya, menulislah, baik atau buruk, toh tidak ada yang baca. Mengapa harus malu, malu sama siapa, lho lagi-lagi gak ada yang baca. Bagaimana kalau ada yang baca? Atau banyak pembacanya, ia pun gak peduli, menulis yah menulis. Toh kalau baik, pembaca akan bilang baik, kalau buruk, pembaca bilang buruk. Apanya yang aneh?
Menulis dan menulislah, kata Si Renta. Hanya dengan menulis, orang disebut menulis, hanya berkhayal, orang disebut berkhayal. Hamka bilang: Cina mati karena harta, Jerman mati karena teknologi dan Indonesia mati karena khayalan. Khayalan menjadi novelis, tapi tak pernah mau menulis^^^