Mau Jadi Lelaki Sejati? Merantaulah !

Merantaulah !

 

” Diputus Kekasih Saat Latihan Paskibra, Siswa Ini Bakar Diri”.

Heading berita online itu mampir ke ponsel pagi ini, dan terus terang benar benar mengusik hari Minggu yang santai ini. Cerita singkatnya, seorang pemuda yang kebetulan juga paskibra ( pasukan pengibar bendera)  membakar dirinya sendiri sesaat setelah sang teman wanita pujaan hati memberikan kabar kepadanya untuk mengakhiri hubungan percintaan mereka.

Antara mengumpat dan rasa kasihan jadi campur aduk. Bahasa Jawa koeknya, mixed feeling. Tak habis pikir, bagaimana seorang pemuda, paskibra, bisa berpikir sedemikian pendek atas dasar nama cinta? Cinta itu baik, cinta itu indah. Bukanlah destruktif seperti ini seharusnya. Yang lebih menjadi perhatian dan perasaan was was adalah, apabila para pemuda jaman sekarang yang seharusnya mengibarkan Pusaka Indonesia pun bermental seperti ini, bagaimana kita kan kelak terus melihat Sang Saka Merah Putih itu berkibar megah di angkasa?

Hanya sekedar berbagi pengalaman, dan juga banyak contoh yang sebetulnya bisa diambil dari mana mana. Ingin jadi lelaki sejati dengan mental yang tangguh? Merantaulah ! Tinggalkan titik kenyamanan dalam hidup dan membuka mata untuk melihat sesuatu yang lain.  Tinggalkan keluarga, orang yang dikenal untuk benar benar hidup di suatu lingkungan yang baru.

Dan pada saat melakukannya, selalu berusaha untuk berdiri diatas kaki sendiri. Seburuk atau sebaik apapun keadaannya.  Belajar dari setiap kondisi, bersyukur dan menikmati setiap perjuangannya.  Bukan merantau tapi tetap menunggu kiriman orang tua ya?

Dengan merantau, mental dan fisik akan melalui gemblengan. Bisa jadi berat, namun apabila menikmatinya sebagai sebuah pengalaman hidup tentu akan sangat berarti daripada sekedar mengeluh saja. Selalu coba katakan “try me”, atau coba aku ketimbang selalu mengatakan “why me”, atau kenapa (harus) saya. Mungkin, saat melalui tantangan yang pada saat itu tampak sedemikian berat, sangat manusiawi bagi seseorang untuk mengeluh.

Tapi saat telah melaluinya dan kemudian menengok kebelakang melihat kejadian tersebut? Dijamin senyum akan hinggap di bibir dengan sedikit tertawa. Getir atau tidak, itu adalah pengalaman hidup. Dan merantau akan mengajarkannya.

Bertemu dengan orang orang yang baru. Membuka cara berpikir yang selama ini hanya di dominasi kebiasaan selama di kampung halaman. Tak melulu harus setuju terhadap semua pemikiran baru, namun merantau akan mengajarkan bagaimana cara menyaring, menyetujui dan mengikuti atau bahkan tidak menyetujuinya sama sekali. Itu dinamakan pembentukan sikap.  Karena hidup sendiri, kita jadi terlatih untuk mengambil sebuah keputusan tanpa rasa ketergantungan yang tinggi terhadap orang disekitar kita.

Apa yang akan kita lakukan, atau tidak, kita adalah juri, jaksa sekaligus hakim bagi diri sendiri.

Disisi yang lain,sebagai mahluk yang terlahir sosial, merantau pun menambah ‘kekayaan’ kita. Bukan, saya tak sedang berbicara mengenai pundi pundi. Tak mau munafik bahwa manusia memang butuh uang untuk hidup. Tapi ‘kekayaan’ yang lebih berarti adalah ilmu hidup dan teman.  Sebuah keluarga baru, sebuah sudut pandang baru dan  juga influence sikap yang baru.

Sekarang mari kita bicara tentang budaya merantau. Budaya merantau sudah dilakukan oleh orang Sumatra sejak lalu. Orang Bugis pun terkenal dengan jiwa petualang mereka yang hebat. Mengarungi lautan dengan kapal mereka dan tersohor kemana mana.  Seperti halnya orang Cina, Arab dan lainnya. Pada jaman terdahulu, mereka mengarungi lautan hanya untuk mencari tahu apa yang ada di luar sana. Jangan pedulikan teori Christoper Colombus yang digembor gemborkan dengan teori ‘dunia itu bulat’ sehingga akhirnya menemukan dunia yang baru.

Maaf kata, buat saya teori usang itu sudah terbantahkan sejak lama oleh para pelaut Bugis dan Cina.  Dan Christoper Colombus sendiri yang terlalu digembor gemborkan oleh dunia barat itu tak lebih dari pedagang budak dan perampok hasil bumi.  Overrated Publicity dunia barat, itu pendapat saya pribadi.  Captain Cook yang ‘konon’ menemukan Benua Australia? Sedikit yang tahu, bahwa saat penjelajahan mereka pada akhirnya sampai ke daerah yang kini bernama State Victoria, para penjelajah ini terbengong bengong saat mereka mendapati sebuah Kuil Cina sudah berdiri di daerah tambang emas yang kini lebih dikenal dengan nama Ballarat.   Lantas siapa yang lebih dulu tiba disana?

Orang Bali. Sedikit kesulitan untuk merantau. Sistem desa adat atau Banjar menyulitkan mereka untuk melakukannya, walaupun pada akhirnya tak sedikit dari mereka yang merantau dan berhasil. Mereka terkenal dengan kejujurannya. Dan dengan itu sudah menjadi satu modal yang penting untuk bisa menjadi ‘orang’ saat merantau. Berangkat hanya dengan modal tekun, kerja keras dan kejujuran adalah yang terpenting.

Orang Jawa? Terlalu terlena dengan kejayaan masa lalu sehingga sedikit yang merantau. Anekdot “jaga warung” pun sedikit menjadi pertanda, bahwa kehidupan sosial orang Jawa sejatinya dimulai di rumah sendiri.  Ada sedikit budaya “kakang kawah, adi ari ari”, dimana ada kepercayaan bahwa bayi yang baru lahir membawa pula kelahiran “saudara kembar” sang bayi sendiri.  Sedulur Papat (empat saudara)  yang menjaga dari satu sifat Kala.  Ari ari, atau lebih dikenal dengan istilah medis plasenta menjadi penjaga sukma orang (keturunan) Jawa. Dan disinilah kenapa ada sedikit budaya untuk tidak membuang plasenta dari bayi yang baru lahir melainkan menaruhnya didalam gerabah keramik, menguburkannya dirumah sembari tetap menyalakan entah api atau lilin diatasnya selama 7 hari untuk ‘menjaga’ sukma tersebut.

Kekuatan ari ari sebagai penjaga sukma orang Jawa pun akhirnya menjadi sebuah entah sugesti atau mitos. Dimana saat orang tua /Bapak menguburkan plasenta tersebut dirumah, si anak menjadi betah di tanah yang didiaminya. Apabila pindah rumah atau merantau? Ari ari tersebut di bongkar ‘kuburnya’ dan tak jarang yang turut membawa serta baik sekedar tanah atau bungkusan ari ari tersebut ketempat yang baru.

Percaya atau tidak tentang hal itu, itu bukanlah menjadi suatu persoalan. Hanya sekedar sugesti belaka yang ‘turut’ menambahi mengapa orang Jawa tidak terbiasa merantau.

Ada juga kebiasaan bagi orang tua/Bapak yang ingin anaknya kelak untuk mengenal dunia dan merantau. Bukan karena tidak ingin dekat anaknya, ya? Tetapi juga sebagai pelajaran hidup kepada orang tua sendiri untuk melepaskan sesuatu yang sangat berharga pada dirinya (anak) , memberikan harapan yang terbaik dan membiarkan anak itu untuk terus berjalan mencari arti hidup sesuai SabdaNya.

Mereka yang memilih hal yang tampak sulit itu akan melarung  ari ari yang berada didalam gerabah itu ke sungai yang mengalir ke laut, atau bahkan di laut sendiri.  Aliran air akan mengombang ambingkan sang penjaga sukma ke arah yang tak menentu, dan semua hanya menjadi ‘sedikit’ pelajaran filosofis bahwa manusia itu kecil, tak ada artinya apa apa meski ‘baru’ bertemu dengan samudra. Belum bertemu dengan Sang Pencipta Samudra , baru sekedar ciptaanNya saja.

Merantau. Saya pribadi akan sangat merekomendasikan ini untuk mereka, para lelaki. Untuk wanita ? Biarlah yang wanita yang menulis tentangnya. Sekedar membagi sedikit catatan pembelajaran hidup, karena saat kita berhenti belajar disitulah hidup dengan sendirinya terhenti.

Salam Avonturir.

Related posts