Pada Sebuah Cafe

IMG-20131127-00242
dokpri

Saya jumpai spesifikasi humaniora di cafe, saling senyum, bersapa-sapa ringan. Terjadi ‘budaya baru’ di kehidupan seputra cafe. Nuansa di sini, lebih manusiawi, wajar dan tak menunjukkan kelas-kelas. Pengunjungnya sibuk berinteraksi dengan laptop, ataupun handphone.

Sayapun kerap berucap kepada istri: “Cafe itu lebih bersahaja”. Istriku mengamini. Tiada bahasa kasar ataupun teriakan bak di tempat konco-konco ‘moderen’ lainnya. Duh, teknologi internet sedikit bernilai ‘baik-baik’ saja. Pergeseran budaya demi budaya, mempererat kembali hubungan-hubungan antar manusia bak keluarga -yang telah lama lenyap- di zona cafe plus Wi-Fi, gratis. Kadang, kudengar diskusi mahasiswa, ku-sharing dan kupikir-pikirkan, sembari berharap ada catatan-catatan tertentu akan keluhan mahasiswa di cafe, sekalipun itu bukanlah mahasiswaku.

Di sudut lain, saya bercermin. Bercermin akan sebuah harmoni di cafe. Pelayan dan pengunjung, teramat dekat secara psikologis, tanpa ragu-ragu sang pengunjung meminta sesuatu -kabel, colokan, roti, kopi dan lain-lain- yang terasa tak sama di club-club malam, di mana tercipta kondisi transaksional, hingga pelayan bergumam dalam hati: “Apa yang bisa kuambil dari orang ini?’. Pun demikian pengunjung: “Apakah host ini bisa kumanfaatkan”.

Potret jual-beli bak club-club malam, tak kujumpai di cafe. Kutemukan kehidupan sederhana di sini, kehidupan tak berkamuflase dan kehidupan yang tertata dengan sangat wajarnya, dan itulah kemurnian hidup di sebuah warkop a.k.a cafe selera Indonesia^^^

Makassar, 27 November 2013

Related posts