Di tengah perbukitan hijau Aceh Besar, terdapat sebuah kawasan perumahan yang memiliki sejarah berbeda dari kompleks hunian lainnya. Warga setempat menyebutnya “Perumahan Jacky Chan”, meski nama resminya adalah Friendship Village of Indonesia–China. Kawasan ini bukan hanya sekadar perumahan, melainkan monumen hidup tentang solidaritas internasional, budaya toleransi, dan harapan baru pasca-bencana.
Artikel ini akan mengupas secara mendalam bagaimana kompleks perumahan ini lahir, berkembang, hingga menyimpan potensi yang belum banyak diungkap.
Sejarah Perumahan Jacky Chan: Dari Tragedi Menuju Harapan Baru
Tsunami dahsyat yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 menghancurkan sebagian besar wilayah pesisir dan menewaskan lebih dari 170.000 jiwa. Ribuan keluarga kehilangan rumah. Di tengah kondisi itu, dunia internasional mengulurkan tangan. Salah satu bentuk bantuan yang paling ikonik datang dari Tiongkok melalui program “Friendship Village of Indonesia–China”.
Pembangunan ini merupakan hasil kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan Tiongkok, di mana aktor legendaris Jackie Chan turut menjadi penggalang dana utama melalui berbagai aksi amal. Pada 19 Juli 2007, perumahan seluas ±22 hektare dengan 606 unit rumah tipe 42 resmi diserahkan kepada masyarakat yang menjadi korban tsunami. Lokasinya berada di Desa Neuheun, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, sekitar 17 km dari pusat Banda Aceh.
Proyek ini bukan hanya sekadar membangun rumah; tetapi menciptakan sebuah komunitas baru yang lengkap dengan fasilitas sosial, seperti:
-
Masjid besar untuk kegiatan ibadah,
-
Sekolah dasar dan taman kanak-kanak,
-
Poliklinik,
-
Pasar mini,
-
Taman bermain anak.
Perkembangan dan Dinamika Sosial
Pada awalnya, seluruh unit rumah dihuni oleh korban tsunami dari berbagai daerah, mulai dari Banda Aceh, Aceh Besar, hingga sebagian kecil etnis Tionghoa yang sebelumnya juga terdampak. Pada masa awal pemukiman, tercatat lebih dari 2.400 jiwa menempati kawasan ini. Namun, seiring berjalannya waktu, jumlah penghuni berkurang hingga kini diperkirakan hanya tersisa sekitar 1.200 jiwa.
Mengapa Banyak Rumah Kosong?
Beberapa faktor yang memengaruhi antara lain:
-
Lokasi yang cukup jauh dari pusat kota, sehingga akses kerja terbatas.
-
Kurangnya transportasi umum, membuat mobilitas sehari-hari lebih sulit.
-
Sebagian penghuni menjual atau menyewakan rumahnya dan kembali ke kota untuk mendekati tempat kerja.
Meski demikian, komunitas yang bertahan membentuk kehidupan sosial yang harmonis. Warga dari berbagai latar belakang etnis dan agama hidup berdampingan dengan budaya gotong royong yang kuat. Misalnya, saat ada warga yang melahirkan atau mengalami kesulitan, tetangga saling membantu tanpa memandang latar belakang. Hal ini menjadikan perumahan ini sebagai contoh nyata integrasi sosial pasca-bencana.
Keunikan Arsitektur dan Lanskap
Salah satu daya tarik utama perumahan ini adalah arsitektur yang memiliki sentuhan Tiongkok. Gerbang masuk yang besar dengan tulisan tiga bahasa (Bahasa Indonesia, Mandarin, dan Inggris) langsung menegaskan identitas kawasan ini sebagai simbol persahabatan Indonesia–Tiongkok.
Selain itu, letaknya yang berada di perbukitan menciptakan pemandangan yang luar biasa. Dari beberapa titik, pengunjung dapat melihat:
-
Laut biru dan Pulau Weh di kejauhan,
-
Kota Banda Aceh dari ketinggian saat malam hari,
-
Hamparan perbukitan hijau yang asri.
Tata ruang yang rapi dan udara yang lebih sejuk dibandingkan kota menjadikan kawasan ini memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata edukasi.
Tantangan yang Dihadapi
Meski memiliki sejarah yang unik, perumahan ini menghadapi sejumlah tantangan yang perlu diatasi:
-
Kurangnya fasilitas pendukung ekonomi. Pasar mini yang ada belum sepenuhnya aktif.
-
Transportasi umum terbatas. Warga masih mengandalkan kendaraan pribadi.
-
Minimnya promosi sebagai destinasi wisata sejarah. Padahal, kawasan ini menyimpan nilai budaya dan sejarah yang penting.
Jika masalah ini bisa diatasi, kawasan ini tidak hanya menjadi hunian, tetapi juga ikon wisata sosial-budaya yang menarik.
Potensi Masa Depan: Dari Hunian Menjadi Wisata Edukasi
Perumahan Jacky Chan menyimpan potensi besar untuk dikembangkan menjadi:
-
Kampung Wisata Edukasi Tsunami: Menyediakan museum mini atau pusat informasi sejarah tsunami dan peran bantuan internasional.
-
Desa Budaya Multietnis: Menghadirkan festival budaya Aceh dan Tionghoa untuk memperkuat nilai toleransi.
-
Pusat Ekonomi Kreatif: Memanfaatkan rumah kosong sebagai homestay atau workshop kerajinan lokal.
Dengan dukungan pemerintah daerah dan promosi yang tepat, kawasan ini bisa menjadi contoh sukses transformasi hunian pascabencana menjadi pusat sosial-ekonomi baru.
Kesimpulan
Perumahan Jacky Chan di Aceh adalah bukti nyata bahwa dari sebuah tragedi besar, harapan baru bisa lahir. Kompleks ini bukan hanya hunian; ia adalah monumen solidaritas internasional, laboratorium sosial tentang harmoni multietnis, dan peluang ekonomi masa depan.
Jika dikelola dengan baik, perumahan ini berpotensi menjadi ikon baru Aceh — bukan hanya bagi korban tsunami, tetapi juga sebagai simbol bagaimana bantuan kemanusiaan dapat berkembang menjadi sebuah komunitas yang hidup, harmonis, dan inspiratif.