Punya Anak Panen Tanggung – Jawab

kid1
foto : www.mylespaul.com

Rasanya tidak perlu dikupas kembali, kejadian yang terus bergulir disekeliling kita ya? Bagaimana siswa SMP membuat video mesum, bagaimana anak SMA tawuran dengan badik menancap dikepala, bagaimana mahasiswa belia saling membunuh demi cinta? Ini masih belum permasalahan remaja dan orang muda yang terjerat narkoba, belum lagi remaja yang diculik, dilecehkan dan dijual sebagai budak seks. Kemudian masih ada berbagai kasus lainnya dimana anak dijual oleh orang – tuanya sendiri. Mengenai datanya saya memang tidak memiliki secara lengkap, tapi jika dicari pasti ada saja.

Saya lama bekerja di bidang pendidikan, bukan sebagai guru. Lebih kepada management pendidikan. Kebetulan saya bekerja di pendidikan yang berbasis luar negeri. Saya iri sekali, karena anak – anak asing atau dengan basis pendidikan asing mendapat segala yang terbaik dan termewah. Sementara anak – anak negeri kita sendiri kocar – kacir. Sekolah murah, tapi bagaimana dengan SDM pengajar dan management sekolah? Bagaimana dengan pendidikan budi pekerti? Apa lalu dimurahkan juga? Orang – tua sibuk mencari nafkah dan pendidikan dipasrahkan pada sekolah. Sementara sekolah bukan ‘penitipan anak’. Asal disekolahkan hingga SMA atau selesai kuliah, langsung panen anak yang dapat dibanggakan. Please deh! Nggak semua anak sama. Ada yang memang luar biasa prestasinya, tetapi lebih banyak yang harus selalu dimonitoring ketat oleh orang – tuanya.

Di sekolah asing satu kelas berisikan sekitar dua puluh lima anak saja, kelasnya ber-AC. Anak – anak akan menonton film Les Miserables sambil duduk, tiduran dan lesehan dibantal – bantal besar di lantai (kadang boleh sambil makan/ngemil). Kemudian diminta menulis resensi film dan apa pendapat mereka sendiri tentang film tersebut. Disekolah kita bagaimana? Anak – anak sebanyak empat puluh orang duduk berjejalan seperti ikan sarden, dibangku yang busuk, warisan dari entah tahun berapa? Bangkunya penuh coretan nggak karuan, ruang kelas tanpa AC, pengap and kecut bau keringat. Belum lagi bangunan yang, .. ya ampun jadul ketinggalan model, kalau tidak roboh sudah bagus! Kadang dikabarkan berhantu saking lapuk dan tertinggalnya model bangunan sekolah. Pelajaran yang diberikan adalah tentang tahun berapa perang Diponegoro dan siapa Tribuana Tunggadewi. Rata – rata pelajaran ‘dihafalkan’, jarang yang ‘dimengerti.’ Menurut saya hafalan itu sangat fatal, otak tidak fleksible. Ketika pengertian dicapai, otak lebih fleksible dari sekedar menghafal. Namun ini pendapat saya pribadi saja.

Dengan perbandingan seperti itu, SDM yang dihasilkan tentunya akan jauh jaraknya langit dengan bumi. Mereka yang mendapat pendidikan ‘interneysyenell’ akan lebih pede, menyerap, siap dan punya daya saing tinggi. Pada hemat saya, bahasa Inggris hari ini seharusnya sudah sedikit dikuasai oleh seluruh masyarakat Indonesia – semuanya, little – little sih I can! Jangan sama sekali tidak bisa. Sementara hasil pendidikan lokal yang tertinggal, apalagi yang terletak di wilayah terpencil, bisa menjadi pekerja supermarket saja barangkali sudah dianggap memiliki prestige yang cukup membanggakan keluarga. Dengan perbandingan seperti itu, alangkah bijaksananya jika kemudian angka kelahiran anak dikendalikan. Terkecuali pemerintah kita sudah sangat mumpuni dalam mengatur negara. Ini kan seperti biasa, masih asyik bertikai! Dulu kampanye dua anak cukup, sangat digemborkan. Sayang sekarang kampanye tersebut hewes – hewes bablas angine, tidak berdampak. Orang lalu punya anak sekehendak hatinya. Maaf, kadang otaknya didengkul. Dengan keadaan finansial carut – marut (plus emosi gahar antar pasangan) berani punya anak, lalu punya anak lagi, lalu punya anak lagi. (tulisan terkait: punya anak seriuslah!).

Punya anak itu panen tanggung jawab! Satu anak saja, tanggung – jawabnya bererot. Jika lebih dari satu, atau dua, atau tiga selain dari persiapan dana yang sebakul, harus ada kebijakan hati seluas samudra dan waktu yang tumpah – ruah. Lho, anak  manusia kan bukan anak – anak ayam! Anda tahu kan, induk ayam suka berlarian kesana kemari dengan piyik – piyik kecil. Rame – rame berlarian, berburu cacing. Itu ayam! Tetapi melahirkan anak – anak manusia dijaman sekarang ini, apa masih mau menggunakan falsafah piyik – piyik kecil yang dilepas saja sembarangan sesukanya. Saya pernah melihat anak SD, sangat mungil, kucrit kecil, tingginya mungkin sekitar semeter saja. Berjalan sendiri pulang sekolah panas terik ditepi jalan besar yang sangat ramai. Kalau tertabrak? Kalau diculik orang? Saya ngomel dan suami berkomentar, ‘anak kampung sudah biasa gitu Mam!’ Manusia lalu merapat pada dua sisi. Mereka yang merasa mampu dan yang kurang mampu. Yang merasa mampu pun dengan kekayaannya belum tentu akan mencetak manusia baru yang lebih baik. Anak – anak diberi kemudahan lalu seenaknya, bersantai, egois, acuh , tidak punya empati dan yakin sampe mati orang – tuanya bakal ngempanin. Nah, yang kurang mampu sebaiknya mawas diri, berapa anak yang akan saya miliki? Planning apa untuk masa depannya kelak? Mampu dan tidak mampu sesungguhnya relatif, tetapi cerdas dan tidak cerdas menyiasati hidup akan sangat berdampak dalam membesarkan anak – anak.

foto : www.mylot.com

Related posts