Tante Tience

tince

Brr…brr…Hp Joe bergetar,membuat kakinya sedikit terkejut. Joe meraih Hp dari saku celananya dan melirik perlahan.
“NEW INCOMING MSG”
“OK”
“Aku menginginkan mu  5pm.” begitu bunyi pesan terbaru di Hp Joe.

Mata kuliah Linguistics ini begitu membosankan. Dosen muda dan cantik tak membuat Joe antusias mengikutinya. Ia memang benci mata kuliah satu itu.

Sore…kenapa mesti sore?
Joe memutar otak dan bertanya-tanya sambil memainkan penanya. Aneh… dua tahun menjadi teman Tience baru kali ini tante mengajak berkencan sore hari.
Suka tidak suka tugas harus dijalani.
Tante Tience sudah membiayai sebagian hidup Joe. Uang kuliah,kost,gym, bahkan sepeda motor yang Joe gunakan adalah budi baik tante Tience. Semua itu cukup dengan satu syarat yaitu Joe mesti siap kapanpun tante butuhkan.

Tante Tience bukan orang sembarangan. Ia istri pemilik beberapa perusahaan besar di negeri ini. Usianya pun belum tua-tua amat, 47 tahun. Tapi tante masih tetap segar, berisi dan tentu penuh gelora.

Petualangan dengan tante Tience sebetulnya sesuatu yang menyiksa lahir dan bathin. Di ranjang ia tak akan pernah berhenti sampai merasakan kepuasan berkali-kali. Ia akan menawan lalu mengkoyak-koyak Joe bak singa betina yang kelaparan.
Meneteskan lilin panas di perut Joe adalah kesukaannya. Ia akan tertawa melihat Joe meringis pedih. Joe diperlakukan bak pesakitan dan Joe tak bisa menolak. Rintihan Joe adalah kenikmatan bagi tante Tience. Erangan Joe adalah amunisi untuk serangan berikutnya. Sampai tubuhnya penuh dengan bilur-bilur.

Sore hari Joe sudah berada di lift yang akan mengantarnya pada lantai 21 gedung bertingkat 40 itu. Lift berhenti dan Joe keluar belok kanan menuju menuju no 2108. Joe mencari-cari kunci elektronik berbentuk kartu dari dompetnya.

Baca juga :  Ibu Cemplon, First Lady Negeri DemoCrazy

Sudah setahun ini tante Tience membeli apartemen kelas atas ini khusus untuk mereka berdua. Cukup riskan baginya bertemu Joe di hotel. Di sini aman,dari basement tempat parkir mobil,masuk lift lalu bisa cepat ke kamar. Tanpa banyak bertemu orang. Pokoknya privacy mereka sungguh terjaga.

Joe masuk, tas punggung dilempar sekenanya di sofa lalu berjalan ke dapur. Diambilnya sekaleng diet coke dan beberapa butir anggur dari kulkas.
Walau apartemen ini jarang ditempati tapi selalu bersih. Tante menbayar pihak ketiga untuk merawatnya.

Joe berdiri dibalik jendela memandangi Jalanan protokol yang mulai ramai dan macet. Orang-orang ingin bergegas pulang. Langit Jakarta meredup lebih awal karena gerimis dan lampu kota mulai dinyalakan.
Joe menarik nafas panjang. Kapan ini semua akan berakhir pikirnya. Sesungguhnya ia jenuh dan lelah dengan profesi sebagai gigolo. Kadang dibebani perasaan hina dan berdosa kepada Tuhan dan orangtua. Walau begitu, dalam doa ia selalu minta agar lepas dari itu semua.

Handphone Joe berbunyi saat ia usai mandi.
“Sori macet…15 menit baru nyampe kayaknya nih…ok ya” begitu suara diseberang berkata.
Lalu..Klik.. percakapan diputus.

Joe tak ingin mengecewakan tante Tience. Ia harus menberikan pelayanan yang extra baik.
Joe sekarang hanya mengenakan celana dalam kulit bertelanjang dada… wangi parfum maskulin menyeruak dari tubug atletisnya.

Disusunnya di ranjang buatan italy sebuah cemeti yang terbuat dari kulit, stick rotan, borgol, serta penutup mata hitam. Joe juga menyiapkan beberapa buah lilin di atas meja.

Joe melirik arloji lalu ke dapur mengambil segelas air putih dan meminumnya bersama sebutir pil berwarna biru.

Joe menunggu di kamar dalam posisi siap diterkam. Begitu lah selalunya. Tanpa babibubebo…pertarungan di mulai dan Joe harus jadi pihak yang kalah. Prinsip tante Tience adalah veni vidi vici,datang…lihat…menang!

Tanpa Joe sadari tante Tience bediri di mulut kamar. Memang tante punya kunci apartemen ini juga.

Baca juga :  Bukan Pelacur Tuhan

“Joe…waktuku tak banyak…”
Joe terkejut dengan kata-kata itu.
“Sesuatu telah terjadi. Aku harus meninggalkan Indonesia. Secepatnya.”

Air muka Joe seperti keledai dungu.
“Suamiku diincar KPK. Dalam beberapa jam ke depan kami mesti keluar. Infonya begitu.”

“Sini…come honey…”
Tante meminta Joe mendekat padanya. Mereka berpelukan dan berciuman lama sambil memejamkan mata. Joe berusaha membawa tante ke tempat tidur. Ia butuh penyaluran karena efek obat biru sudah bekerja.

“Please stop Joe..I have to go..”
Tante Tience melepaskan ciuman mereka.
“Aku ke sini hanya ingin bertemu dengan mu untuk yang terakhir kali…kita tak akan pernah jumpa lagi.”

Dipandangi wanita yang air matanya mulai turun. Wanita yang selalunya garang berubah melankolis.

“Joe…. aku telah menyiapkan segalanya. Aku tinggalkan apartemen ini… juga Harrier-ku di basement  untuk kamu miliki. Ini kuncinya..jaga baik-baik,kamu tahu mobil itu mobil kesayanganku…”
“Semua surat-surat nanti Katrin lawyer ku yang urus. Besok pagi Jam 9 dia akan datang ke mari minta tanda tanganmu. Jadi malam ini kamu stay di sini ya.”

“Hei….kenapa kamu diam Joe?”
Joe benar-benar membeku.
“Ok ya….aku pergi.  Aku dah pesan taksi pulang.”
“Hon…” Joe meraih wajah Tante Tience lalu mencium bibirnya.

“Ini hampir lupa….” Tante Tience menyerahkan amplop coklat besar dari Hermes coklatnya.
“Ini kurasa cukup buat biaya kuliahmu hingga kelar…” katanya sambil tersenyum.

Joe menerima amplop itu dengan sedikit gemetar.
Tante mencium kening Joe lalu menuju ke pintu. Sebelum keluar tante Tience berkata dengan setengah berteriak karena ia tahu Joe masih di kamar terdiam.
“I love you Joe…aku ingin kamu jadi pria baik-baik…bye”

Sepuluh menit menit setelah kepergian tante Tience, Joe masih berdiri mematung. Sungguh sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia terjadi pada diri Joe.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 comments

  1. wowww… like this lah pokonya…. akhirnya joe bisa kembali ke jalan yang lurus, sepeninggal tantenya… hahahhahahaha… lamat2 doa joe dalam hati didengar oleh tuhan, hahhahaha… bisa tuh sebenrnya dibikin sambungannya…. wkwkkwkwkwk…. 🙂https://blograkyat.com/wp-content/plugins/wp-monalisa/icons/wpml_good.gif