Sakratul Maut Cinta

The Smiling Death (dokpri)
The Smiling Death (dokpri)

Bagaimana aku bisa membuatmu paham bahwa aku jatuh padamu, kuingin lafazkan inapan hatiku, inapan cinta padamu, sedang engkau berjalan beriringan dengan yang lain. Siapakah yang engkau temani saat itu, aku melihatmu bertiga. “Aku memang bertiga”, jawabmu.

Jika bertiga, selain kamu, siapa yang kedua dan ketiga itu? Jawabmu lagi: “Aku, tubuhku dan jiwaku”. Lalu, di mana aku bisa bertengger dari ketiga itu sedang engkau tak mau ada yang ke-empat selain dariku?

Tiadakah sedikit emperan yang bisa kusinggahi sebagai khizanat cinta? Kau tersenyum, aku diam, kaku. Ranum batinku tapi tiada bermekaran. Lalu, kuhentak-hentak cintaku. Kau tak jua memenjarakan cintaku di jiwa, apatah lagi ruang tubuhmu.

Kelewat berbahaya permainan hati ini, taruhannya adalah jumputan hati lirih, derita kalbu, iris-irisan batin, deretan luka siap tergores setiap waktu, detik dan menit.

Tetapi kamu paham seluruh, aku mencintaimu. Pertanda itu pesan cinta yang sampai atau tak kesampaian? Jawabmu: “Kabar cintamu telah sampai, aku harus taruh di mana?

Katamu lagi, cinta wajib ego. Tubuhku enggan dicabik, jiwaku pun tiada sudi didera-dera cinta. Lha, bukankah cinta itu menyenangkan, bahagiakan, dan mencipta senyuman terkulum-kulum indah?

Jawabmu, dengan sesungguhnya lagi: “Kisahnya memang begitu, dan berapa banyak manusia telah legam, digebuk lara karena cinta?

Cinta itu sakratul maut, ujarmu. Aku mau mati yang sesungguhnya, bukan beberapa kali mati sebelum mati sebenar-benar mati. Katamu lagi, cinta itu membuat orang mati berkali-kali sebelum mati yang hakiki.

“Jika aku rindu padamu, apa yang harus kulakukan?, tanyamu.

“Aku akan menjumpaimu”, belaku.

“Oke..oke…setelah itu, kau pergi lagi”, katamu lagi.

“Yah harus pergi lagi”, timpalku

“Dan itu akan menyiksaku”, keluhmu

Dan kau bertutur tragis: “Saat aku rindu, akau tersiksa sampai engkau datang. Setelah engkau di sini bersamaku, aku bahagia sampai engkau pergi lagi, kembali kuteraniaya”.

Hemmmmmm……… kau tak mau dengan risiko se-iba itu. Dan kau memilih sendiri tanpa siapa-siapa di sisimu kecuali tubuhmu, dan jiwamu. Dan kau tetap ingin medeka bersama ketiganya: Kau, tubuhmu, jiawamu.

Cintalah yang harus pahami itu, bukan kita yang harus pahami cinta, bukan? Sebab cinta kian dipahami, kian melukakan, meminta air mata yang tiada habis-habisnya. Lihatlah, pipimu tetap sembab. Sembab karena ulah-ulah cinta. Cinta Itu Gerbang Sakratul Maut.

Catatan:

Esai cinta ini tiada hubungannya dengan The Smiling Death (Erri Soebakti-Arimbi Bimoseno)

Related posts