Bosan dengan Tempe?

Tempe makan yang dicari ketika kedelai harganya membumbung tinggi. Karena tempe menghilang dari pasaran. Kalaupun ada jarang-jarang dan mahal.

Padahal tempe sudah menjadi makanan rakyat yang bergizi bagi rakyat biasa sampai pejabat tinggi. Tersedia di warteg sampai di rumah makan bergengsi.

Tempe sudah menjadi menu yang disukai semua golongan. Dari orang susah sampai orang kaya. Dari anak-anak sampai nenek-kakek. Sebab rasanya yang khas dan enak.

Namun bagaimana kalau tiap hari menunya tempe terus?

Tempe Lagi-TempeLagi

Bagi yang hobi makan tempe, kemungkinan tak ada masalah berarti bila dalam beberapa hari menunya tempe lagi, tempe lagi. Apalagi bila disajikan dengan variasi yang berbeda. Digoreng, disemur, dibikin tempe orek dll. Pokoknya magyus.

Kebetulan saya termasuk buka yang suka-suka amat mengkonsumsi tempe. Kalau sesekali bolehlah. Saya lebih suka tahu. Setiap hari pun tak ada bosannya. Sikat terus.

Nah, kalau menunya tempe setiap hari? Belum makan sudah bisa mules. Rasanya sudah tak bisa telan. Kehilangan selera. Apalagi seperti saya yang tinggal di mess dan perlu masak sendiri karena harus makanan yang khusus. Bisanya paling digoreng.

Adakalanya pernah dalam beberapa hari dapat jatah tempe dan tempe lagi. Bingung dan lemas kehilangan selera. Mau bilang bosan ya ada rasa malu juga. Sudah dikirimi, bukannya bersyukur.

Bersyukur itu Memang Menu yang Paling Nikmat

 Dalam keadaan demikian, biasanya yang muncul adalah bisikan halus,”Masih enak tiap hari bisa makan tempe, ada yang mau makan tempe aja gak kebagian. Waktu krisis kedelai, tak ada tempe di pasaran sampai ada yang mencak-mencak karena udah ngiler.”

 Iya juga sih. Kenapa tak berpikir begitu dan bersyukur masih bisa makan tempe setiap hari.

 “Wong, malu sedikit. Bukannya kamu suka menulis tentang bersyukur dan jangan mengeluh? Kok masih bisa makan tempe aja sudah cemberut gitu dan perut mau mules?” keluar sindiran dari balik bilik hati.

 Waduh, ini jadi benar malunya. Ups, tarik nafas dalam-dalam. Hembuskan dan mulai senyum sambil bergumam,”Yeaaaah, i love tempe. Tempe makanan lezat.”

 Mulai beraksi. Potong-potong, kasih garam sedikit. Lalu digoreng. Nyam, nyam, nyaaaam. Enak. Perut kenyang. Besok lagi, eng ing eng, potong-potong tempenya, kukus dan kasih kecap. Maem, maem, maeeeem. Sedap. Kenyang. Muka jadi berseri-seri.

Begitulah kalau sesuatu dinikmati dengan hati yang senang dan rasa bersyukur. Tempe yang tadinya bikin sebal terasa nikmat. Bikin perut kenyang juga sampai nambah. Memang rasa nikmat itu hadir ketika ada rasa nikmat dari hati.

Oh, hari ini tempe lagi. Asyik. potong kecil-kecil di goreng garing. Lumayan buat cemilan. Yeah, besoknya dapat tempe lagi. Potong ah. Eits, tunggu dulu, jangan dipotong. Tapi dibungkus rapi. Panggil si Eneng yang kerja di pabrik,”Neng, ini bawa tempenya buat kamu masak di rumah, kebetulan hari ini lagi malas masak nih.”

Si Eneng dengan muka berseri dan berseru,”Asyik dikasih tempe, terima kasih ya, Pak. Sering-sering aja begitu.” Tentu saja saya ikut tersenyum dan bersyukur kalau begitu. Bisa berbagi tempe.