Follower Not Me

unfollowme
foto : plus.google.com

Saya pernah ngobrol dengan seorang kawan yang kabarnya sejak SD tinggal di luar negeri hingga SMA. Dia mengusai tiga bahasa dengan sempurna, Inggris, Spanyol dan Indonesia. Banyak hal yang dibagikannya sebagai anak Indonesia yang besar di manca negara. Soal gaya hidup, kebebasan dan pola pikir yang super liberal tidak perlu saya kisahkan. Tidak semua orang mampu mengerti dan menyerap gayanya yang spektakuler itu.

Satu hal menarik yang ia sharingkan adalah ketika ia harus kuliah kembali ke Jakarta karena masa tugas orang-tuanya di luar negeri sudah usai. Dengan tertatih ia kembali ke ‘alam Indonesia’ dan melihat banyak hal yang kurang ‘pas’ dimatanya. Wajar, lama ia menjadi penduduk manca. Padahal secara pribadi saya menilai ia orang yang tidak sombong atau sok kebarat – kebaratan. Hanya kerangka berpikir yang lama di alam manca ketika dimasukkan kembali ke alam timur Indonesia, sedikit sesak dan butuh perjuangan untuk menempatkannya dengan baik.

Baca juga :  Azərbaycanda mərc oyunları şirkəti Baxış və rəylə

Sebagai contoh ia mengatakan, “Ketika saya kuliah, saya heran mengapa semua mahasiswa dan mahasiswi sama gayanya? Rata – rata mengenakan celana jeans, baik lelaki maupun wanita. Lalu biasanya dipadu dengan T-Shirt atau kemeja. Apa tidak ada gaya busana lain? Apa tidak bisa lebih banyak lagi yang mampu berkreasi dengan penampilannya? Mengapa semua orang ter-pola sama? Harus kembar, mengikuti yang lainnya? Padahal kita masing – masing seharusnya mampu kreatif dengan cara kita. Dengan membuat pengumuman pada dunia, INI LHO GUE,…”

Saya jadi tersenyum karena memang demikianlah pola yang banyak diadaptasi disini. Satu orang berbusana demikian, sejuta umat mengikuti. Satu orang memberikan ide demikian, sejuta lainnya manggut – manggut setuju. Bahkan satu orang menulis ‘bla’, yang lain semuanya juga menulis ‘bla’ hingga berpuluh/ratus seri. Hey, sampai kapan? … Kasihan jati diri, karakter dan kemampuan maksimal untuk berkembang jika terus dikerangkeng dan dirantai. Melanggar adat atau norma memang tak pantas, tetapi membeo juga menumpulkan kreativitas yang seharusnya bisa maksimal. Saya menyetujui sikap teman saya itu yang mengedepankan kebebasan dalam berkreasi, walau ada hal – hal yang kurang saya setujui terkait masalah tata susila. Tapi saya juga tidak ingin berlaku munafik, menghakimi dan sok benar. Takutnya suatu hari bisa saja saya salah. BUT FOLLOWER? NOT ME lah…

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

8 comments

  1. hmm saya juga bisa 3 bahasa: bahasa indonesia.bahasa Padang dan hokkien tampo tampo esai lah hayaaa….hehe.. Ya mbak winda..Kalau nulis Ahok..semua Ahooook/atau Jokowiiii heheh.. Kita nggak boleh ngritik,ntar di jawab:” suka suka gua dong ” kena lah kita hehea…

    1. hya kalo ngomong sama org yg ngga mau dibantah.. ngapain ya Oom Tjipta?https://blograkyat.com/wp-content/plugins/wp-monalisa/icons/wpml_negative.gif..buang – buang waktu aja hehe..

  2. Wah…saya jadi tersindir tulisan Jeng Winda dan Pak Tjip nih… tadinya saya ikut-ikutan nulis Ahok dan Jokowi…hehehe…

    1. kalo nulis dari keinginan sendiri gapapa mba anita artinya memang pengagum sesuatu/seseorang..tapi kalau sekedar ikut2xan ? atau ada pemaksaan agar semua nulis hal yang sama??..https://blograkyat.com/wp-content/plugins/wp-monalisa/icons/wpml_wacko.gif

  3. Ehmmm dalam hal ini, misalnya gaya atau tren, saya termasuk tidak terpengaruh, karena saya ingin tampil apa adanya walau sering dibilang gak ada gayanya hehehe..kalau dalam hal menulis ya seperti ini adanya

    1. Pak Kate cukup punya sikap dan gaya penulisan tersendiri, bagus koq menurut saya hehe…https://blograkyat.com/wp-content/plugins/wp-monalisa/icons/wpml_good.gif