Mata Satu

Selamat bersua kembali sobat Ketiker’s. 

Perjalanan jauh, knalpot meraung-raung di belantara hutan Mamuju-Sulbar, telah cukup menghadiahkan seonggok life story akan sebuah provinsi ‘terbelakang’ semisal Sulawesi Barat. Dan, kubersaksi, malam itu, Kota Mamuju dengan segala keramahan anehnya. Kubertampang serem, malah mereka segan padaku, kuberlaku lembut dan sopan, eh malah aku disambar-sambar dan digertak-gertak.

Maka, tak berlakulah: Anda Sopan, Kamu Segan. Di pusat keramaian, malam itu, terjadi kisah itu. Sulit kudefenisikan, susah kuberi batasan budaya, maupun laju kata-kata.

Yang kupahami, Mamuju latah, ikut dan mengamini habit-habit yang katanya: moderen. Dan, saya Muhammad Armand, akan bersabar, menunggu-nunggu seperti apa rupa kota ini, 10-20 tahun yang akan datang. Ini kritis, ini di tepi modernitas, anak-anak kecil sedang bercumbu-rayu di telaga-telaga, di jembatan-jembatan, di emperan bahkan di sudut-sudut tempat ibadah. Berdempetan dengan lawan jenisnya.

Tiada lagi budaya ‘sopan’ di tengah belukar budaya, pupus sudah. Yang tua-tua, tak sanggup lagi bertegur-teguran, tahunya hanya ngomel, kesal. Padahal mereka adalah anak-anaknya, putra-putranya, putri-putrinya, cucu-cicitnya. Orangtua sibuk di politik, di masjid-masjid, di gereja-gereja, sepertinya telah terjadi pemisahan antara urusan kebaikan dan urusan keburukan.

Yang baik-baik, dicibir-cibir, yang buruk-buruk, diumpat-umpat.Fiuhh, cumalah sekedar itu. Dan transportasi perilaku buruk kian melaju, mendayu-dayu dan kian menganga akan kematian kemanusiaan atas nama martabat, harkat dan kebablasan model. Model yang semestinya tak dipandang-pandang, tak disubur-suburkan. Dan begitulah zaman digital ini: yang baik-baik akan tercampakkan, dan yang buruk-buruk akan dihidupkan. Matilah jika begini. Dajjal ber mata satu telah berkeliaran dimana-mana^^^