[MBLR] Samurai dan Cinta

samurai wanita

No. Peserta 52

“Kau siapa?”

“Tak perlu kau tau! Cukup kau ingat saja kejadian di tepi sungai Kamo setahun yang lalu!’

“Sungai Kamo? Kejadiaan apa?” Lelaki itu pucat, saat bilah pedangku sedikit menggores lehernya. Lelaki yang barusan melepas kimonoku itu benar benar seperti banci. Saat ku datang, dia begitu menampakkan kuasanya. Yah, aku datang tadi memang sengaja menyamar sebagai geisha, wanita penghibur. Hanya dengan itu aku bisa menyusup masuk istananya yang dijaga para daimyo.

Otsom Sinugawa yang suka perempuan itu ternyata tidak punya nyali, tidak seperti saat dia dikelilingi para daimyo yang menjaganya. Kata katanya yang tadinya merayu dan penuh nafsu, ternyata seketika hilang saat jemarinya telah membuka kimonoku.  Karena saat lepas jatuh ke tanah, saat itu juga pedangku sudah menempel di lehernya. Dadaku yang sedikit menyembul tidak lagi membuat jakunnya naik turun, Ketakutan akan kematian di ujung pedangku yang membuat dia gemetar dan berkeringat.

“Kau mau seppuku, mati di tangan sendiri atau ujung pedangku yang akan memisahkan nyawamu dari raga!” Kataku tegas. Ku tatap matanya tajam.

“Tunggu…tunggu….apa yang kau inginkan dariku? Jika engkau ingin harta, ambillah semaumu. Semuanya aku letakan di bawah tempat tidurku.”

“Iya, aku memang mau hartamu, tapi aku lebih menginginkan kematianmu. Sekali lagi, mau seppuku atau mati di ujung pedangku? Temui Akiro Guname di alam baka dan minta maaflah!” Suaraku tergetar.

“Akiro Guname? Kau.. kau siapa?” Suaranya sangat ketakutan. Aku terdiam sesaat menunggu dia memilih apa. Jika dia memilih seppuku, artinya dia masih mempunyai harga diri meskipun dosanya tidak termaafkan. JIka tidak, artinya dia hanya manusia keji yang sebenarnya tidak punya nyali. Lima detik berlalu dia hanya memasang wajah ketakutan dan menghiba. Dengan lirih sengit akupun berkata membisik,

“Aku adalah dewa kematianmu! CRASSS..

Ku tebaskan pedangku hingga lehernya banjir oleh darah. Lelaki itu tiada sempat lagi berkata. Tubuh tanpa nyawa itupun ambruk tanpa kepala. Ku pakai lagi kimonoku. Sedang pedang kecil yang masih berdarah itu aku simpan di balik kimono. Setelah mengambil beberapa keping emas, aku berjalan keluar menunduk, dengan ekor mataku tetap mengawasi jalan yang kulalui. Ku lihat berpuluh pasang mata menatapku, sesekali daimyo yang ku lewati berdehem menggodaku. Aku diam saja. Sambil tetap waspada, jika tiba tiba, daimyo di kamar Otsom Sinugawa yang baru ku bunuh menemukan tuannya mati lalu berteriak mengabarkan kematian kepada semua daimyo. Tentu mereka tidak akan membiarkan aku pergi dari rumah ini. Jemariku menggenggam erat gagang pedang kecil di pinggangku.Waspada.

-***-

Namaku Hikoru. Tapi sejak ditinggal mati oleh suamiku, Akiro Guname,karena dipenggal oleh kerabat Tokugawa, aku lebih suka dipanggil Shokuko. Nama sebagai tanda bahwa aku adalah anak dari kematian. Panggilan yang akan selalu mengingatkan aku akan apa yang telah dilakukan keluarga Tokugawa kepada suamiku dan seluruh keluargaku .Sudah puluhan tahun suamiku menjadi daimyo di kerabat Tokugawa, tapi tenyata demikian mudah mereka menjatuhkan hukuman atas kesalahan yang tidak dilakukan nya. Lupakah mereka bagaimana suamiku dengan gagah berani bertempur di Sekigara? Bahkan dengan tubuhnya ia jadikan tameng saat Tokugawa diserang oleh pasukan Shimazu Yosihiro.  Ia adalah adalah samurai paling gagah berani. Tapi kesetiannnya pada majikan, justru dibalas dengan pengkhianatan dari tuannya sekeluarga, Otsum Sinugawa.

Baca juga :  Аналитика и прогнозы по рынку Форекс Investing com

Empat  musim semi aku lewati sendiri di dalam gubuk di pinggir sungai Kamo. Di situ juga aku besarkan anakku yang tidak sempat melihat bapaknya, karena ia lahir beberapa hari setelah suamiku dihukum. Hidup dari belas kasian musafir yang lewat. Beruntung datang Asami Hitaru, seorang, yang menurut pengakuannya dia adalah anak dari wanita yang pernah dekat dengan mushasi, seorang samurai tanpa tanding di masa kekaisaran Edo.

“Engkau harus dongakan kepalamu. Jangan biarkan hidup membuatmu tertunduk tanpa masa depan. Anakmu adalah taruhan bagaimana engkau bisa bijak menjalani hiduo ini.” Katanya suatu hari, di satu bulan pertama di mana ia tinggal di tempatku.

“Aku hanya seorang janda tanpa harta dan keluarga.” Jawabku waktu itu penuh keputus asaan.

“Hiroku,apakah engkau mau anakmu hanya akan menjadi bocah yang hanya bisa menangis. Karena engkau sendiri hanya bisa menangisi hidupmu yang sekarang? Apakah engkau tidak ingat, harapan suamimu dulu, harapan bagaimana anaknya kelak. Ingatlah, dia memilih engkau sebagai istri, dia percaya bahwa engkau akan menjadi ibu yang tepat bagi anaknya. Sebagai penerus darah keluarganya.” Asami Hitaru berkata melecutkan hatiku.

Aku masih terdiam.dan berkata lirih,” apakah mungkin?”

“semua tergantung padamu.”

Hari berganti, apa yang dikatakan Asami Hitaru mengganggu pikiranku. Teringatlah aku, bagaimana suamiku begitu mengharapkan anak yang ku kandung nanti menjadi seorang yang besar. Dan bagaimana keluargaku yang begitu perhatian dan sayang. Tapi semua musnah karena fitnah yang dilemparkan oleh majikan suamiku sendiri. Dadaku bergemuruh. Darahku terasa mendidih. Perlahan di hatiku terpercik semangat untuk mempertahankan harga diri keluarga dan nama baik suami.

Aku harus bangkit, dan mimpiku bukan puing, aku berdiri membangun mimpi di atas mimpi. Mimpiku adalah  untuk membersihkan nama baik suamiku, agar nanti anakku bisa tumbuh juga sebagai manusia yang besar. Batinku suatu ketika di tepi sungai Kamo, tepat di mana suamiku dibunuh. Sambil menggenggam tanah, yang kemudian dengan sekuat tenaga aku lemparkan ke sungai dan berteriak,”

“Akiro Guname suamiku, saksikanlah, aku akan meneruskan jiwamu. Meski ragamu telah habis bersama tanah, tapi jiwamu, jiwamu selalu ada di dadaku.!”

Setelah itu, akupun banyak belajar dari Asami Hitaru. Baik ilmu pedang, juga perenungan perenungan akan tujuan hidup.

-***-

Di sampan kecil ini, aku lihat wajahku melalui air sungai Kamo. Rambutku yang terurai panjang dan wajah cantik, kata suamiku dulu. Ahh, masih saja ada gurat gelisah di garis wajahku. Apakah karena aku belum selesai membunuh keluarga Sinugawa. Dari beberapa catatan yang ku temukan, ternyata fitnah yang menimpa suamiku dulu ternyata benar benar dari Tokugawa. Panglima pertempuran Sekigara, yang ternyata berambisi menjadi shogun atau kaisar. Haruskah aku megejarnya ?

“Jangan, jangan kau turuti nafsu membunuhmu, lagian engkau akan terbunuh jika nekat mengejar Tokugawa.” Kata Asami. Perempuan berumur itu duduk di dekat sampan yang ku naiki.”

“ Apakah kakak meragukan ilmu warisan Musashi? Bukan ilmu samurainya tidak tertandingi?” Aku bertanya pada perempuan yang sudah ku anggap kakak.

“Ini bukan masalah mana yang lebih hebat,  tapi hidup kadang tidak seperti kita bayangkan. Sikap ksatria semakin hilang berganti dengan sikap culas dan licik. Sehebat hebatnya ilmu samurai, bila berhadapan dengan hal yang demikian, bisa tidak berarti. Karena ia bukanlah lawan yang bisa kita serang secara fisik. Tapi ia adalah lawan yang harus kita lawan dengan pikiran.” Asima lembut berkata.

Baca juga :  Haramkah Memilih Pemimpin Non Muslim ?

“Bagiku yang utama adalah harga diri. Dan harga diri itu terletak bagaimana sikap ksatria kita. lebih baik mati dalam pertarungan dari pada hidup harga diri yang terinjak injak!”

“Belum cukupkan tanganmu berlumur darah keluarga Tokugawa dan kerabatnya. Namamu sudah menjadi hantu yang menakutkan di daerah timur ini.Shokoku, telah menjelma dewi kematian  bagi orang yang didatanginya.”

“ Aku akan berhenti saat telah habis keluarga Tokugawa dan kerabatnya. Setelah Sinugawa habis, selanjutnya aku akan ke istana Osaka langsung akan perang tanding dengan Tokugawa,” Kataku sambil berdesis. “Jikapun aku mati, setidaknya anakku akan mengingat ibunya mati dengan kemuliaan dan kebanggaan. Dan dengan ini aku minta tolong kepadamu, asuhlah anakku seperti anakmu sendiri. Ceritakan bagaimana ibu  begitu mencintai dan mengasihinya. Tapi demi menjujung kehormatan diri dan keluarga, ibunya akan bertarung layaknya samurai yang terhormat.”

Asami memandangku redup dengan bibir tersenyum. Matanya berkaca. Tangannya bergerak kea rah punggungnya mengambil sebilah samurai.

“Ambilah ini, ini adalah samurai Musashi. Semoga engkau beruntung dan selamat kembali ke sini.”

-***-

Aku memasang kuda kuda. Samurai Musashi pemberian Asami, aku pegang erat erat. Di pelataran istana Osaka, para daimyo Tokugawa sudah mengepungku. Sedang aku hanya sendiri. Dan memang sudah aku niatkan. Ini adalah pertarungan hidup mati. Rambutku tergerai beterbangan tertiup angin musim semi. Mataku tajam menatap Tokugawa yang duduk di dekat pintu gerbang. Ada senyum mengejek. Sementara para samurai yang menjaganya semakin merapat, berjalan mendekat ke arahku. Aku memejam mata merasakan semilir angin musim semi. Entah tiba tiba kucium harum bau bunga yang sering suamiku berikan padaku. Dalam semilir angin itu, lamat lamat ada suara memanggil, 

“ Hikoru, aku menunggumu di sini..’

Suara itu, suara yang sangat aku kenal, meskipun lama tidak ku dengar. Suara suamiku Akiro Guname. Ku tarik nafas dalam dalam. Ada rasa bahagia yang merasuk dada. Aku sudah dtunggu suamiku. Sedetik kemudian, aku buka mataku. Ku pandangi satu satu para daimyo yang mengepungku. Tidak ada sedikitpun rasa takut. Sambil tersenyum, aku melompat menerjam para daimyo itu bersama kelebatan samurai Musashi.

Suara samurai berbenturan menjadi lagu pertarungan. Tapi entah aku tidak merasa lelah, selalu merasa kuat. Satu persatu para daimyo  di depanku roboh bersimbah darah. Tapi para penjaga Tokugawa seperti tak ada habisnya. Hari makin redup. Dan matahari sudah hampit hilang. Hanya semburatnya yang mengingatkan aku saat pertama kali memeluk Akiro Kugame.

CESSS..

Ada yang terasa menyusup masuk ke dada samapi ke punggung. Sebuah benda dingin. Saat ku lihat kea rah benda itu. Ada wajah yang selama ini ku cari. Tokugawa, masih dengan senyum mengejek. Pedangnya telah berhenti menembus tubuhku. Dengan sisa sisa tenagaku, aku  gerakan samuraiku maju. Dan berhenti bersama wajah Tokugawa yang mendelik kesakitan. Akupun lunglai dan roboh saat kurasakan kakiku sudah tidak kuat menahan tubuhku. Wajahkupun rebah ke tanah. Kembali ku dengar suara memanggil.

“Hikoru, kemari….”

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

9 comments

    1. Mbak Asih…kematian yang indah… menurut versi si dia…. 🙂 seneng mbak Asih mampir 🙂

  1. Wuiiihhh…. asyik euy cerita samurainya, ada cinta di antara kilatan samurai..
    keren https://blograkyat.com/wp-content/plugins/wp-monalisa/icons/wpml_good.gif

    1. mas hans…. suka cerita samurai? me too 🙂 senang juga ada mas hans 🙂