Menakar Garis Tangan

dokpri
www.keffeng.com

Ah budaya manusia itu, kenal dan paham soal nasib, garis tangan, takdir, dan sejenisnya. Kalkulasi sajalah, orang-orang gak terima nasibnya, meronta, marah, memfitnah Tuhan. Soal jenis kulintya saja yang gak sesuai selera, Ia marah, minder bergaul, kecewa.

Tak terima dengan jemari yang imut-imut atau kegedean, ia gugat Tuhan. Menolak rejeki yang sedikit, padahal telah bekerja kaki di kepala, kepala di kaki. Tiada cukup ajaran Maha Suci Allah baginya. Pun tiada genap bilangan kelebihan sempurnanya manusia. Soal perbedaan lekuk tubuh, alis mata, bentuk hidung, bibir. Itu kepiawaian Tuhan, itu Maha cerdasnya Tuhan. Apakah mau diseragamkan?

Apa jadinya jika organ-organ itu persis dengan orang lain, bagaimana kita mengenalinya, membedakannya dengan yang lain. Lihat saja, produk-produk asli dan palsu, betapa sulitnya Anda bedakan, dan Anda sewot karena telah salah membeli, salah memilih dan telah terkecoh akan jualan palsu. itu karena efek seragam. Seorang yang cantik, yah harus cantik semua. Ya, gak gitu matematika Tuhan.

Baca juga :  Kita Ini Orang-orang Hebat

Apa tak berpikir ulang bahwa Tuhan begitu ulung menciptakan kemudahan-kemudahan untuk mengenali milyaran manusia dengan bermacam bentuk badan, ikal-lurusnya rambut, montok-tipisnya bokong, besar-kecilnya bahu, pinggang, pinggul, paha, kaki, betis.

Lalu musim berganti, dari wajah ori menjadi wajah plastik, hebat. Manusia menampakkan ketidaksetujuannya atas wajah yang diberikan padanya. Tak terima atas arsitektur hidung, mata, dagu dan bulu ketek. Ini soal kerelaan-ketidakrelaan. Ia maki-maki Tuhannya, di dalam hati, agar tak disebut pembangkang, meraung-raung lewat batin, ia lupa sekali bahwa yang tak terucap pun telah disimak Tuhan. Malah pun, ucapan yang direncakan, Tuhan telah kuasai.

Baca juga :  Seberapa Penting Mengantri Dalam Kehidupan di Zaman Modern

Dan secanggih apapun buatan manusia, sampai kapanpun takkan pernah bisa menciptakan sebiji gigi saja atau satu kelingking saja. Sampai kapanpun, itu tak mungkin. Lalu mengapa sibuk mengganti ini mengganti itu. Mengapa tak sibuk meneteskan airmata syukur atas rupa asli yang telah diberikan Tuhan padamu?. 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 comments

    1. Hemmmmmmmmmmmm…
      Lalu kita dan mereka.
      Setia bersorak akan tak iklasnya menerima diri..
      Lebih jauh lagi, sebagai pekerjaan, kerap tak terima takdir
      sebagai penulis….
      Setia akan kesempurnaan, baik judul, konten… So what?
      Dan tukang fiksi, meronta-ronta, dia tak terima anugerahnya,
      bukan soal bermutu atau tidak bermutunya secarik puisi.
      Tapi tiadakah rasa malu padaNya, telah diberikan jemari untuk menari-nari dengan leluasanya di atas tombol-tombol?