Menghitung Anugrah Bahagia

count-your-blessings-deborah-finley
foto : fineartamerica.com

Hari ini saya sedih sekali. Sedihnya kenapa, tidak perlu saya ceritakan. Yang pasti sangat sedih, sehingga saya terus menangis. Mungkin saya gampang mellow, gampang cengeng, gampang tersentuh, mudah mewek atau apalah namanya. Pokoknya saat ini saya merasa sangat nggak enak, nggak terima dan terus berusaha menekan kekecewaan besar yang baru saja terjadi.

Secara tidak sengaja saya membaca kisah luar biasa tentang seseorang yang menjalani bulan madu paling berantakan karena ia memilih naik sebuah maskapai penerbangan yang punya reputasi buruk dari Surabaya. Ceritanya sangat lengkap, mengalir, detail. Berbagai perasaan berkecamuk dari kisahnya yang luar biasa. Dari niatnya yang menjalani bulan madu indah dan hancur berantakan karena buruknya layanan maskapai yang dipilih.

Caranya bercerita lucu, bikin geram, bikin sebel. Ada emosi yang diacak – aduk. Dengan lengkap ia menggambarkan bagaimana ketelatenan, kesabaran, kebenaran, ketepatan dikalahkan oleh takdir. Oleh garisan Tuhan yang memaksa ia mengalami semua pengalaman dan perlakuan buruk oleh maskapai yang bersangkutan. Segala perjuangan yang dilakukannya dari komplain, heran, bingung, menangis, tereak dan segala macam. Semuanya diceritakan dengan lucu. Namun pada akhirnya problem solved!

Cerita itu dibaca dan dikomentari oleh ribuan orang. Saya yang tadinya sedih karena permasalahan saya sendiri, membaca kisah itu menjadi tersenyum, tertawa dan turut lega ketika permasalahannya beres. Bulan madunya yang berantakan berlalu dengan tambahan biaya sekitar tiga juta rupiah. Tetapi pada intinya ia bahkan mengalami bulan madu paling luar biasa dibanding orang lain. Sehingga mungkin ia dan suaminya akan mengenang bulan madu itu hingga menjadi sepasang nini – aki.

Baca juga :  Bukan Ibu Yang Sebenarnya

Bagi saya sendiri pelajaran yang saya petik adalah, sedih, menangis dan kecewa ternyata hal yang lumrah, banyak orang mengalaminya. Tidak hanya saya dan Anda. Tapi bumi ini berputar, keadilan berlanjut, ketidakadilan terlupakan, kecewa terobati, dan masa lalu jadi kenangan indah walaupun mungkin ketika dialami pahit rasanya. Saya mulai menghitung anugrah bahagia yang saya miliki dan bukannya terus menangisi kecewa yang ada.

Betapa saya selalu dimanjakan oleh Tuhan, betapa saya selalu ‘nyaris’ tetapi ‘selamat’. Betapa bahkan saya selalu dimanjakan oleh pasangan hidup, sahabat – sahabat saya, bahkan para boss saya! Saya ingat jika saya meminta sesuatu, boss saya langsung berdiri dan melakukan apa yang saya minta! Itu dulu ketika saya bekerja. Ketika itu saya masih saja kecewa terhadapnya dan menganggap dia memperlakukan saya dengan tidak adil. Padahal kalau dipikir saya yang sudah terlalu dimanjakan oleh keadaan. See, saya jadi melihat bahwa kekecewaan mungkin ada pangkalnya dari sikap saya sendiri!

Baca juga :  Debat

Jadi membaca kisah itu, saya bisa berkaca, tersenyum dan berkata, ‘move on, …of course life will be better in the future! Love yourself!…

dedicated for : Lizz (thanks Lizz)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

6 comments

  1. Jeng Winda, memang kita lebih sering mengeluh daripada bersyukur. Sementara kalau dihitung anugrah yang kita terima sudah sebanyak pasir di pantai atau sebanyak bintang di langit. Yuk kita belajar bersyukur…

  2. Jadi saya pikir masih relevan memakai jurus Terima, Mengalir, dan Senyum menyikapi apa yang Ci Winda ceritakan, adanya kebahagiaan dan kesedihan yang mengalir justru merupakan sebuah kesempurnaan hidup