Persahabatan Bagai Kepompong

butterfly_emerging
foto: pensacolayp.com

Iya saya tahu ini judul lagu dan sampai hari ini saya masih sangat menyukai lagu tersebut. Persahabatan bagai kempompong merubah ulat menjadi kupu – kupu,…  Sejak kecil teman saya buanyaaaak dan saya juga banyak menghabiskan waktu dengan teman – teman. Entah ya, mungkin karena ayah saya tak pernah dirumah dan ibu selalu bekerja. Maka saya banyak bermain saja dengan teman – teman. Bagi saya teman – teman itu seperti pundi – pundi emas yang saya kumpulkan dalam kehidupan. Kadang ya ada yang ternyata cuma perunggu atau logam biasa yang karatan. Terpaksa saya buang dari kumpulan pundi – pundi!

Saya sadar sesadar – sadarnya bahwa berteman itu tidak bisa dipaksakan. Ada momen yang menjadikan pertemanan. Ada peristiwa – peristiwa yang menjadikan nilai dari persahabatan itu kian mengental. Namun tak jarang ada orang yang kita anggap teman, dia menganggap kita ‘obyek’. Ya bisa obyek apa saja, obyek usaha, obyek curhat, obyek kompor, obyek dibodohi, macam – macam lah. Ini adalah pundi – pundi perak atau logam karatan yang harus kita buang dari koleksi pundi – pundi emas kita. Dulu saya sangat mengagungkan persahabatan, kalau dimusuhi saya merasa sedih dan tertekan. Saya ketakutan dan merasa tidak diterima oleh kelompok. Setelah dewasa saya belajar bahwa ada fenomena yang disebut tekanan kelompok atau peer pressure. Baca deh, Pasir hisap pergaulan. Ternyata pertemanan kelompok secara tak sadar kadang ‘mendiktekan’ sesuatu. Nah, saya kurang suka!

Saya lebih menyukai pertemanan one on one, face to face. Kalau kita tidak suka berteman dengan seseorang, janganlah karena hasutan orang lain. Tetapi karena kita sendiri memiliki pengalaman buruk dengan orang tersebut, sehingga menjadikan kita waspada dan tidak sampai dua – tiga kali kecewa karena berteman dengan seseorang dengan perilaku negatif.  Teman – teman saya saking banyaknya, ada yang beberapa adalah teman TK, SD, SMP dan SMA. Yup, teman TK masih ada beberapa orang yang saya simpan sebagai pundi – pundi emas awal yang saya kumpulkan!

Dengan teman – teman masa kecil yang dikenal sejak usia 18 tahun kebawah, perasaaan saya ‘nyaris’ sudah seperti saudara. Rata – rata sifat sudah saya hafal dan mengerti benar. Kisruh, berantem, nggak sependapat dan lain – lain sudah saya lewatkan. Saya diamkan saja, masa bodoh. Kalau besok – besok mau berteman lagi hayu, enggak ya sudah! Nggak apa. Mungkin karena berangkat berteman dari usia kanak – kanak/ remaja, masing – masing menilai yang lainnya masih sama seperti kanak – kanak yang dulu saling mengenal. Padahal hey, we’re all getting older! Masing – masing bertambah usia, bertambah uban dan segudang pengalaman. Tentu persahabatan harus masih sama kentalnya, namun saling menghormati dan menghargai tentunya harus sudah berubah format. Dari sesama ABG ke sesama manula, eh salah…manuda (manusia dewasa muda, aheeem!). Kadang – kadang teman – teman masa kecil ini, ada beberapa yang memperlakukan saya dengan perilaku ‘who do you think you are?’ Tapi saya balas, ‘who cares?’

Lalu saya bertemu teman – teman semasa kuliah. Perasaan saya tentang teman – teman kuliah kok sedikit mengagungkan. Dalam benak saya, yang paling tidak menyenangkanpun, rasanya adalah orang – orang yang cukup menyenangkan. Mungkin karena awalan berteman ketika usia mulai merambah kedewasaan, masing – masing sudah tumbuh perasaan saling menghormati dan menghargai sebagai pribadi. Mengerti batas, bercanda dan bertanya kepo sampai dimana? He-he,.. Anyway, saya paling suka ketemu teman – teman kuliah saya. Kalau lokasi pertemuan tidak terlalu jauh dan saya juga tidak ada kegiatan, pasti saya paksakan diri untuk hadir dan menemui mereka. Entah lagi ya, mungkin juga karena kampus saya juga adalah kampus adem – ayem bahagia loh jinawi, versi Indonesia kecil. Suku apapun dan agama apapun, kompak!

Baca juga :  1xBet Azerbaycan Yükle Mobil Az Indir Android i

Pastinya bekerja berbelas tahun saya punya teman – teman kerja. Sejujurnya saya sangat pesimis tentang teman – teman sekerja saya. Dua dari tiga orang tidak menyenangkan dimata saya. Yang tadinya teman bisa jadi musuh. Yang didepan bicara A, dibelakang bicara B. Yang menggunakan segala cara untuk menikam orang lain. Yang bermuka – dua demi kesuksesan pribadi. Yang meraup apa saja yang bisa diraup. Nah, ini apakah karena lingkungan kerja perusahaan yang bersangkutan memang menumbuhkan aura negatif atau memang sifat manusia menjadi demikian agresif jika sudah berburu demi sesuap nasi? Lagi – lagi entah ya? Yang jelas saya memilih mundur panditha dari lingkungan tersebut karena menurut saya sudah sangat menggerogoti hati nurani. Kemarin master merry, guru yoga saya menyatakan 85% penyakit muncul karena adanya pikiran. Itu yang saya takutkan, karena terbeban pikiran lalu saya menjadi sakit. Kalau sakit jiwa apalagi?

Baca juga :  Mencari Keuntungan di Atas Kesusahan

Berikutnya ada teman aneka komunitas. Teman – teman komunitas adalah teman yang saya sangat blank, have no idea. Tidak tahu siapa sebenarnya mereka, masa kecil bagaimana, keluarganya siapa. Yang agak bisa ‘diraba’ adalah teman satu indekost ketika kuliah maupun kerja. Karena bersama dalam ‘satu atap’ sekian lama pasti cukup banyak waktu untuk saling memperlajari sifat dan menyesuaikan diri. Sementara teman komunitas seperti arisan, kegiatan keagamaan, hobby ini dan hobby itu, saya hanya bermain perasaan dan intuisi. Jika memang ‘jodoh’nya baik, ya pertemanan akan langgeng sampai kapanpun walau awal perkenalan out of nowhere. Alias ketemu dari media sosial atau dari lingkungan RT dan sebagainya. Pokoknya ruh baik sama – sama cocok, ya lanjut. Kalau kurang cocok ya stop, tokh tidak ada keharusan untuk terus berteman.

Sebenarnya saya tidak suka membuang ‘pundi – pundi’. Alias mendadak tidak mau berteman dengan si A atau si B. Menurut saya berteman tidak boleh pilih – pilih atau pandang bulu berdasarkan agama, status, posisi, kekayaan materi dst. Tetapi mau tidak mau saya harus membuang orang – orang yang saya pandang memiliki aura kurang baik bagi saya. Karena prinsip saya sendiri ingin menjadi a better me, diri saya yang lebih baik di kemudian hari. Kita itu tidak dapat mengatur orang lain, mendidik dan memaksakan kehendak. Tetapi kita sangat mungkin mengatur diri kita sendiri. Maka dari itu saya memilih ‘asupan gizi baik’ dalam membangun karakter saya sendiri. Kadang – kadang pilihan saya sendiri dalam memilah pundi – pundi salah atau terlalu subyektif. Ada masalah sedikit terus malas bergaul. Satu orang yang bersalah, satu rombongan saya waspadai. Ada teman yang sangat saya agungkan, ternyata dikemudian hari sangat mengecewakan. Namanya juga masih manusia, saya masih belajar bijak. Mohon maaf!

Bonus : Persahabatan bagai kepompong

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *