Revolusi Mental, Apa Urgensinya ?

Ada apa dengan mental bangsa Indonesia sehingga perlu di revolusi ? Sedemikian parahkah moral bangsa kita sehingga Kubu Jowoki – JK mencanangkan misi Revolusi mental ? Disini saya tertarik untuk menelisik lebih jauh dan mencoba memahami dengan seksama mengapa sampai muncul wacana ‘Revolusi Mental’

Sepintas bila kita mendengar atau membaca berita mengenai gerakan Revolusi Mental, memang dapat dinilai sebagai sebuah gebrakan yang serius untuk membenahi sikap dan perilaku manusia Indonesia terutama para pejabat dan para pemimpin di negeri ini. Tentu program ini bisa memiliki daya tarik luar biasa dan menjadi program unggulan pasangan Capres/cawapres dengan no urut 2 Jokowi-JK. Bahkan Jokowi sudah berulang kali menyampaikan perihal ‘Revolusi Mental’ didalam acara kampanye dimana-mana.

Para audience dari berbagai kalangan, dari rakyat biasa sampai intelektual dan para pejabat sekalipun, mendengarkan pidato Jokowi tentang Revolusi Mental, nampak mengangguk anggukkan kepala tanda setuju dan menelan mentah mentah bahwa program Revolusi Mental adalah mutlak untuk segera dilaksanakan. Tapi tahukah anda, apa yang sesungguhnya melatarbelakangi paradigma itu ?

Persepsi masayarakat mengenai moral bobrok para pejabat

Mengapa publik menilai bahwa mental bangsa Indonesia terutama para pejabatnya sudah bobrok dan perlu segera dibenahi ? Hal ini semata mata akibat ulah kalangan media yang selalu saja mem-blow up kasus kasus kejahatan yang melibatkan para pejabat elit kita. Berita mengenai Korupsi, Kolusi dan Nepotisme selalu menghiasi halaman muka dan headline semua media, apalagi dengan berkembang pesatnya fungsi sosial media, maka hal ini semakin mempercepat proses pembentukan persepsi yang salah dikalangan masyarakat luas terhadap moralitas para pejabat kita.

Sampai disini saya menilai, bahwa kalangan pers kita sudah terlena dan salah arah. Mereka tak pernah memikirkan dampak serius akibat berita berita yang mereka lansir secara sistematis dan terus menerus itu. Mereka bukanlah sekedar mengejar berita tetapi sibuk mencari nafkah dengan berjualan berita.

Mengapa saya berani katakan itu ? Sebab para wartawan tentu saja akan mencari berita berdasarkan skala prioritas, yaitu berita yang gampang ‘dijual’. Maksudnya berita yang mampu menarik perhatian publik. Memang logis juga, sebab tanpa berita yang menarik, tentu perusahaan media tempatnya bekerja akan segera gulung tikar.

Namun demikian, pernahkan kita semua sadari, dengan seringnya berita semacam itu ditayangkan diberbagai media maka dalam jangka panjang akan mampu menggiring opini dan persepsi publik bahwa moral para pejabat negeri ini sudah bobrok. Masyarakat terlanjur menilai bahwa para pemimpin bangsa ini sudah mengalami degradasi moral.

Padahal menurut saya, yang sesungguhnya terjadi tidaklah demikian. Tentu masih banyak para pejabat kita yang bekerja dengan baik, patuh kepada aturan dan menjujung tinggi martabat diri. Pelaku kejahatan kerah putih hanyalah segelintir orang saja, namun karena beritanya dibombardir di berbagai media, maka seolah olah, semua pejabat dan pemimpin kita sudah tak bermoral.

Seandainya insan Pers kita sedikit lebih adil, seharusnya berita yang diturunkan harus pula diimbangi dengan menampilkan prestasi para pejabat dan pemimpin yang punya dedikasi tinggi, jujur dan amanah.

Kerusakan moral bangsa, apa ukurannya ?

Sehubungan dengan hal diatas, maka saya ingin bertanya kepada kubu Jokowi – JK, hal apa yang mendasari mereka sehingga berani mencanangkan program Revolusi Mental ?

Baca juga :  How to Become A Successful Java Developer?

Mental yang perlu direvolusi, tentu adalah moral yang bobrok, bejat dan menghancurkan martabat. Apakah benar bahwa bangsa ini pemilik moral yang bobrok dan rusak sehingga harus direvolusi ?

Apakah sudah dilakukan suatu survey atau kajian secara ilmiah dan mendalam mengenai seberapa parah kerusakan mental bangsa ini sehingga perlu di revolusi ?

Ataukah wacana itu memang sengaja dibuat secara instant, berdasarkan opini pribadi tim ahli yang tidak bertumpu pada hasil kajian ilmiah, dan sekedar sebagai komoditi politik dimasa kampanye saat ini ?

Membangun karakter dari anak anak ?

Masih sejalan dengan wacana Revolusi Mental, Jokowi kembali menawarkan program pembangunan karakter manusia Indonesia sejak dini. Hipotesa yang dipakai oleh kubu Jokowi adalah, bila pembinaan karakter sudah dilakukan sejak masih anak anak, maka nanti ketika mereka dewasa akan memiliki mental yang baik. Bila mereka menjadi pejabat, dengan mental yang baik maka akan menekan kasus kasus korupsi.

Nah, disinilah terdapat hal yang menurut saya tidak relevan. Pihak Kubu Jokowi mengannggap bahwa korupsi bisa terjadi karena terdapat unsur moral pejabat yang bobrok. Saya masih bisa setuju dengan pendapat ini, tetapi lebih jauh saya menjadi sangsi. Sebab sesungguhnya yang menjadi faktor utama terjadinya kasus korupsi bukanlah karena adanya moral bobrok oknum pejabat.

Budaya korupsi di negeri ini saya ibaratkan sebuah lautan yang airnya asin. Ada ribuan sungai mengalirkan air tawar dari hulu yang kemudian bermuara sampai ke laut. Pada gilirannya air akan tercampur dengan pekatnya kadar garam lautan maka kemudian air tawar akan berubah menjadi asin. Jadi apa perlunya memperbaiki kualitas air tawar di sungai, bila akhirnya bermuara ke laut juga ?

Revolusi mental, saya ibaratkan sebuah program untuk memperbaiki kualitas air tawar di sungai, yang katanya sudah keruh dan berbau. Taruhlah bahwa kegiatan itu berhasil dengan sempurna, sehingga mampu membuat kualitas air sungai seperti kualitas mata air sekalipun, tetapi bila kemudian mengalir ke laut, maka begitu sampai dipantai, air sungai yang tawar itu sedikit demi sedikit berubah menjadi asin.

Jadi, untuk apa susah susah memperbaiki kualitas air tawar, bila air dilaut masih asin ? Untuk apa Revolusi Mental, bila Budaya Korupsi masih kental ?

Komposisi pembinaan karakter 70 % di SD dan SMP

Kita semua mengetahui bahwa pelaku tindak korupsi adalah orang dewasa, yang tentu tak bisa lagi dirubah karakter dan tabiatnya. Dengan demikian apa perlunya membangun karakter sejak dini dengan merubah komposisi materi pembelajaran di sekolah dasar dan menengah pertama dengtan 70 % pembinaan karakter dan sisanya 30 % belajar Ilmu Pengetahuan ?

Saya kembali bertanya mengenai hal ini, bagaimana dasar perhitungannya sehingga diperlukan 70 % materi pembelajaran untuk membina karakter ? Mengapa tidak 60 % atau 80 % ? Apakah hanya sekedar perkiraan saja atau berdasarkan studi dan kajian ilmiah ?

Bila benar nanti akan dilaksanakan komposisi materi pembelajaran 70 % dalam rangka pembinaan karakter, saya tidak bisa membayangkan, mau jadi apa anak anak kita Sekolah Dasar dan SMP nantinya. Bayangkan saja, bila selama ini anak anak banyak belajar Matematika, IPA, Bahasa Indonesia dll, nantinya intensitas belajar Ilmu pengetahuan akan jauh berkurang. Mereka akan banyak belajar mengenai perilaku dan akhlak yang baik, tak beda jauh seperti belajar di pesantren. Tapi apakah sudah diantisipasi apa yang akan terjadi setelah itu. Anak anak kita bisa jadi anak yang baik, sikap dan perilakunya baik, tertib dan disiplin, tapi apakah mereka bisa menjadi anak yang pandai, dalam arti bila dibandingkan dengan anak anak di luar negeri pada usia yang sama, mampukah mereka bersaing ?

Baca juga :  Mengenal Figur Joko Widodo

Bila sejak masa pendidikan dasar SD dan SMP, anak anak tidak segera diberikan pelajaran yang cukup dibidang Ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kemudian baru di intensifkan ketika mereka berada di bangku SMA, seberapa kemampuan anak anak kita menerimanya ? Sedangkan anak SMA sekarang saja banyak yang kwalahan dalam mempelajari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Saya sungguh pesimis dengan program 70 % Pembinaan Karakter di SD dan SMP, jangan jangan anak anak kita selamanya tak akan bisa menjadi juara lagi dalam acara olimpiade sains international dimasa mendatang ! Miris sekali bukan !!

Apa yang diharapkan Jokowi dengan Revolusi Mental ?

Kubu Jokowi nampaknya makin tidak realistis dalam mencanangkan program Revolusi mental. Mereka lupa bahwa masa bhakti Presiden hanya 5 tahun saja, dan paling lama 10 tahun, bila terpilih lagi. Mari kita hitung, seberapa efektip program Revolusi Mental akan dilaksanakan.

Bila benar tahun depan dilakukan implementasi program pembangunan Karakter sejak usia dini yaitu di SD dan SMP, maka selama 9 tahun, mental mereka digembleng agar menjadi manusia Indonesia yang katakanlah bermental baik. Begitu mereka lulus SMP dan pada tahun ke- 10 dan mereka duduk di Bangku SMA. Apakah Jokowi masih menjadi Presiden ketika itu ? Siapa yang bisa menjamin bila Jokowi tidak lagi menjadi Presiden, maka program Pembinaan Karakter akan terus dilakukan ?

Baiklah, kita cobe sedikit berbaik hati, dengan memberi kesempatan Jokowi menjadi Presiden 2 periode berturut-turut. Itupun ketika anak anak tersebut duduk dikelas 1 SMA, maka bersamaan dengan Jokowi lengser keprabon, karena habis masa Jabatan sebagai Presiden.

Nah lalu, anak anak itu mau diapakan lagi ? Sedangkan mereka belum cukup dewasa dan tentu belum saatnya bekerja mencari nafkah. Umur mereka saat itu berkisar antar 15-16 tahun, berarti bila harus kuliah dulu kemudian baru melamae kerja, masih butuh waktu paling cepat 6 tahun lagi. Itupun bila program pembinaaan karakter dilakukan secara berkesinambungan, siapapun yang akan menjadi Presiden nantinya.

Pertanyaan besarnya adalah, siapa yang berani menjamin, bahwa Presiden selanjutnya akan konsisten dan konsekwen dengan program Revolusi Mental yang dicanangkan Jokowi ?

Lalu, apa yang didapatkan oleh Jokowi di dalam masa pemerintahannya, yang mana paling jauh hanya bisa mencetak kondisi anak anak yang dibina karakternya itu masih duduk dibangku SMA ? Sedangkan mereka belum saatnya bisa diharapkan untuk berperan langsung dalam mengatasi permasalahan negeri.

Nampaknya semakin dikaji, program Revolusi Mental Jokowi makin tak membumi !

Saya ingin bertanya kepada anda, bila anda Jokowi, apa yang bisa anda katakan tentang Revolusi Mental ?

Salam

ilustrasi gambar : politik.kompasiana.com

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 comment