SEDARI dulu, orang-orang memuji akan kekayaan kosa kataku dalam menulis. Mereka se-sumbar, bukan se-sumsel yah. Ha ha ha. Jangan;lah pernah timpakan pujian itu kepadaku. Mereka-mereka, kupinta susuri etnikku, inilah etnik dengan kosa kata dengan menggunungnya kata khiasan, konotasi, reflektif dan sedikit berani.
Etnik ini kelewat keras walau dalam karya sastra-sastranya mendayu-dayu, sanggup melelehkan air mata. Seterusnya, budaya humornya, pun tak pernah surut sampai kini. Iklim inilah, mendaulat pikiran, logikaku dan batinku dalam tuangkan artikel fiksi dan humor. Kutaksedang meninggi-ninggikan etnikku ini. Inilah adanya. Mereka cerdas nian hasrat humornya lewat Kalin Dak Dak, Anda akan terbahak-bahak bila saja pernah menyaksikan ritual Sayyang Pattuddu di Sulbar sana.
Andapun tiada akan memapasi humor norak, semisal di televisi-televisi itu. Etnik Mandar, pandai nian berhiperbola, pun cekatan mengolah kata yang tak membuat orang lain tersentil, malah tersenyum-senyum. Dan kerap dengan bahasa bersahaja, dan puitis, ringan. Tamsilnya: seorang gadis menapaki pematang sawah, berbaju merah, di sore menjelang petang, matahri pun telah di ufuk, senja. Lalu seorang pemuda sedang membajak sawah, sambil acungkan cangkul, dia lengkingkan suaranya: “Paindouw-paindouw pai tia mata allo”. Terjemahannya: “Duh cerah nian matahari bersinar”.
Gadis itu tersenyum, ia menangkap penuh seluruh akan kata-kata pemuda itu. Cerah nian itu gambaran baju merah yang dibalutkan di tubuh gadis itu. Itulah etnikku. Tak kubanggakan tapi daku bahagia terlahir dengan suku Mandar dengan segala plus-minusnya^^^
Tulisan yang menarik ,my brother Armand. Kalau saya cuma boleh bilang saya orang Padang hehe…salam hangat dan sukses selalu
hehehehehehe
Bang Tjipta
Setiap etnik punya plus-minusnya
Padang miliki ciri ulet dan lagu Minangnya eksotik