(CERMIN) Sepenggal Mungkin

fidyasafitri.blogspot.com
fidyasafitri.blogspot.com

Aku sudah putuskan untuk menunggumu di sini, pada sudut-sudut waktu yang menua, dan sebentar mengering. Aku menunggumu bersama ruar-ruar uap kopi yang kau sisakan semalam, menunggu bersama berhelai-helai kertas di sampingku, menunggumu sambil menulis kisah tentang kita.

“Mungkin” adalah kalimat sakti yang sering meluncur lincah dari lidahku, ketika aku harus meraba-raba waktu yang sombong, mencari jawaban atas seribu tanya tercuat.

“Mungkin dia merindukanku” Ketika aku dapati beberapa helai bulu mata yang menurutmu lentik, luruh pada salah satu sisi kulit wajah terluarku.

Ini mungkin hanya mitos, mitos yang sebenarnya tidak berkorelasi dengan kerinduanku. Mitos yang mungkin tidak menyampaikan apapun tentang yang tersurat ataupun tersirat tentang rasamu.

“Mungkin dia sedang sibuk” Ketika kudapati, layar ponsel di meja tulisku, masih berada di posisi yang sama dengan kapasitas batere yang tidak berkurang, dan keypad yang masih tetap dingin. Karena kabar darimu tak kunjung datang, bahkan hingga malam melahap habis rembulan.

Baca juga :  Puisi Dalam

Memamahnya dengan rakus tanpa  menyisakan sedikit celahpun, untuk ku tetap berharap, bahwa kabar darimu pasti akan segera datang. Dan mengenyahkan sepenggal kalimat mungkin.

“Mungkin dia sedang mengantar saudara perempuannya yang sakit” Ketika seorang teman, tergopoh-gopoh menyampaikan sebuah berita yang di lihatnya, pada sebuah rumah sakit..kau tengah mengandeng wanita lain.

Padahal ketika berita itu sampai di indra pendengaranku, genderangnya mendadak pekak, namun lagi-lagi kalimat mungkin, meredakannya.

“Mungkin” Ya hanya kalimat ini yang begitu ku akrabi ketika menunggumu. Hingga tanpa kusadari, helai-helai kertas yang hendak kutulis tentang kamu, tentang kisah kita, kini hanya berisi sepenggal  “mungkin”.

Tapi kenyataannya aku terlahir bukan dari nurani tanpa rasa, dari jiwa yang terdalam kerap kali berontak, mereka berorasi bahwa sebuah kata “mungkin” bukanlah sesuatu yang layak di tunggu.

Baca juga :  Sang Pencipta

Bahwa sebuah kalimat “mungkin” bukanlah doa yang patut di aminkan.

Karena bagaimana mungkin sebuah Mim harus berpisah dengan Ta, TIDAK MUNGKIN.

Pada saat kemungkinan-kemungkinan yang ku tumpuk itu menggunung, bukan tidak jarang mereka menggiringku pada sesuatu yang mungkin tak terbalas. Sesuatu yang nampak  luas tapi tak bersambut.

Masih mengamati ceruk cangkir kopimu, baru kusadari jika ruar-ruar itu telang hilang, tak ada apapun tentangmu yang  tersisa.

“Mungkin waktunya sudah habis, dan aku harus segera beranjak dari tempat ini” Kataku sendu.

Ku kemasi helaian-helaian kertas yang hanya berisi seribu penggal kalimat MUNGKIN, lalu kemudian beranjak secepatnya dari tempat ini.

Kini ku rasakan lelahnya menunggu,

Dan,

“…Aku tidak mungkin menunggumu terlalu lama..” gumamku.

 &&&

*kutulis ini ketika matahari hanya mampu berpijar setengah hati

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 comments