The Story Of E

eE meliuk didepanku.

Pandanganku hazy dan ngeblur.  Musik merasuk dan dentuman bass membuatku gemetar.  E semakin rapat. Intim, seperti tak ada jarak diantara kita. Mataku menoleh was was.  Ke sosok yang kukenal sejak bocah.  Seorang sahabat, lebih dekat dari kata saudara. Aku sudah hafal bagaimana sikap E saat dia sedang ‘terbang tinggi di angkasa’. High as a Kite, that’s the term we used  to describe the feeling. 

Bitchy. Nakal. Flirty.  Ah, terkutuk kau, E !

B, sahabatku sedang sibuk di sudut lounge yang lainnya.  Entah bersama siapa, tak terlalu jelas pandanganku. Tiba tiba bibir E merapat. Mengunciku. Kembali, E menciumku.  Ingin berontak, tiba tiba terasa sesuatu yang pahit dan getir di bibirku. Damn U, E ! Dan diapun tertawa nakal mengerling , melihatku yang kelabakan segera mencari gelas minumanku untuk melawan rasa pahit butiran surga buatan manusia ini. Saat ku melihat ke arah B, dia hanya tertawa terbahak bahak sambil mengangkat gelasnya tinggi tinggi. Menertawakan tingkahku yang kikuk, karena E, istrinya, tengah menggodaku.

Musik seperti berdesis di telinga. Here we go again.  Kucoba kumpulkan kesadaranku.  Gagal.   E berbisik ditelinga,

” I want you, D “.

Wadehel?  “Want me ? ” itu sebuah pernyataan yang keliru.  Orang lain boleh menilaiku seenak mereka. Itu tak pernah kupedulikan. Tapi setidaknya, aku masih punya standar moral yang mungkin sudah semakin tipis ini. Satu peraturan yang tidak pernah kurubah adalah jangan ganggu bini orang . Dan tidak ada sejuta E yang cantik akan mampu merubah itu. Never has, never been.  Single,  masih pacaran atau  janda? Bolehlah, tapi tidak dengan bini orang. Lebih lebih istri dari seorang sahabat. Apa kata dunia nantinya?

Baca juga :  Mengakui Kesalahan Dianggap Kebodohan, Membuat Orang Lain Salah adalah Kesuksesan

“Kamu udah kebanyakan, E. Behave, Bebe. “, ujarku pelan namun tegas.  Tapi kenapa tanganku tetap menggenggam tangannya, ya? Tidak juga berusaha merubah posisi duduk E, yang saat ini sudah terlalu dekat denganku. Namun terimakasih, Tuhan. Kesadaranku sudah kembali.  Segera kuatur posisi duduk , dan juga E yang nampak semakin manja.

Oh ya, buat kalian yang bingung kenapa aku menyebut kata Tuhan, ya, aku memang masih percaya dengan Tuhan. Sekalipun di tempat yang mungkin masuk kategori surga dunia yang nampak rumit ini.

Aku bangun, dan menghampiri B. Yang tampak sibuk dengan teman teman barunya. Dia tertawa, melihat kehadiranku, dengan langkah sempoyongan.  Mengenalkanku kepada teman temannya. Mereka ikut tertawa melihat kondisiku. Aku pun ikut tertawa bersama mereka. Buat apa berpura pura kan? Toh tujuan kesana memang untuk bersenang senang.

B pun mengambil botol vodka Polandia itu dan menuangkannya ke gelasku. Beberapa butir es diraih dengan tangannya dari ice bucket , dan dimasukkan pula kesana.  Kami angkat gelas bersama.

I see the light at the bottom of the rock- solid glass. 

Kembali tertawa bersama.  B merangkulku. Dia pun berucap, ditengah suara musik yang semakin masuk ke sukma :

” I don’t mind if you’d like to take E, back to your apartment tonight “

B tersenyum. Ramah seperti biasanya. Orang yang tak pernah sekalipun menyakiti orang lain dan selalu baik ini mengucapkan suatu kalimat yang betul betul sulit kucerna akal sehatnya. Seperti petir yang menyambar kadar otak oldschool ku ini.  Raut muka B berubah. Dia melihat tanganku yang meletakkan gelas ke meja rendah. Kini terkepal. Mataku kini tajam menatapnya. Hilang sudah pengaruh butiran designer drugs ini, maupun bergalon galon air api yang sudah masuk melewati kerongkonganku. Kesadaranku, pulih sudah.

Baca juga :  Anjing Tuh Orang

Geram.  Yang ada di benak kepalaku saat ini adalah adegan dimana tangan kananku memukul bibirnya, tangan kiriku menyambar kepalanya supaya tak terjatuh kebelakang. Bukan untuk membantunya, melainkan menjaga posisi kepala B supaya tetap dalam jangkauan dengkulku yang siap menghujam kepalanya lagi.

Tapi itu hanya dalam benakku saja. Tak mungkin melakukannya kepada B, sahabatku, saudaraku. Cukup melihatnya saja, diapun sudah tahu apa yang ada dibenak kepalaku.  B sudah mampu untuk tahu, bahwa saat ini beruntung dia adalah sahabatku. Bukan orang lain yang mungkin saja sedang kuinjak injak kepalanya. Seperti kebiasaanku, yang cukup dikenalnya.

Bibir B gemetar. Kulirik E, yang entah kapan ternyata sudah berada di sebelahku , kini.  Tanpa sengaja mataku menyapu ke sebuah pemecah es, yang berada didalam ice bucket itu.  Whoosa. Berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa meraih pemecah es dan menghujamkannya berulangkali ke tengkuk B, adalah sebuah ide yang buruk.

He is my buddy, after all. 

Aku hanya memeluk B, dan berbisik kepadanya, “Aku pamit dulu, kepalaku sudah pusing. Jaga E baik baik, ya? ”

B tak dapat berkata apa apa. Hanya melihatku yang menghampiri E, dan mencium keningnya.

Aku terus berjalan keluar dari tempat itu. Sembari mata masih liar mencari cari kesalahan orang lain. Sekedar untuk melampiaskan kekesalanku, mungkin. Tapi tetap, tak kutemukan.

Tetap, tak kutemukan.

http://www.youtube.com/watch?v=Y8ZsPdJOmBQ

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 comments

  1. yakin, aku gak bakat nulis fiksi, Bung Katedra ,hahahahaha. Tapi harus dicoba berulang kali dulu baru yakin kalau memang ternyata betul gak bisa,hahahaha. Bawaan orok kekeuhnya 😆