[Cerbung] Vendetta 10 : Emptiness

www.liamasyitah.blogspot.com
www.liamasyitah.blogspot.com

Episode sebelumnya : Vendetta 9 : Sacrifice

* * *

Angel tak berkedip menatap gerakan bola-bola logam mengkilap itu. Bandul momentum yang terpental-pental teratur di atas mejanya. Sorot matanya kosong. Hampa. Apapun yang terjadi, jangan pernah mengakui pembunuhan yang kamu lakukan pada Ferry Frianto. Jangan pernah! Hanya gema kalimat itu yang terngiang di telinganya. Terus dan terus berulang.

Ia memenuhi janji itu. Walaupun polisi muda yang tampan itu mencecarnya dengan berbagai pertanyaan yang kerap memojokkan. Hingga pada akhirnya ia keluar sebagai pemenang. Dan membiarkan polisi muda itu pergi dengan sejuta perasaan tak puas. Ia hanya bisa berucap dalam hati, maafkan aku, Mami… Maafkan aku…

“Kak…”

Panggilan halus itu membuat Angel tersentak. Ia mengangkat wajah dan mendapati Felitsa berdiri di depan pintu kantornya. Menatapnya ragu.

“Masuk, Sya.”

Felitsa melangkah pelan. Wajahnya muram. Tetap muram walaupun Angel sambil mencoba mengulas senyum menyodorkan tiramisu padanya.

“Ada apa?” tanya Angel.

Felitsa menghela napas panjang sebelum menjawab dengan suara teramat lirih, “Aku memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan Tian.”

Angel ternganga.

“Seperti yang Kakak inginkan, kan?”

Bibir Angel mengatup seketika. Ditatapnya Felitsa dengan sejuta rasa bersalah. Tapi Felitsa menatapnya dengan mengulas senyum.

“Ya, aku tahu Kakak penulis surat singkat itu,” lanjut Felitsa. “Nanny yang bilang padaku. Walau tanpa surat itu pun aku tahu hubungan ini akan berakhir.”

“Maafkan Kakak, Sya…” bisik Angel, patah.

“Sudah kubilang dengan atau tanpa surat itu, kami pasti tamat.”

Angel hanya sanggup menatap adiknya tanpa mampu buka suara.

“Kak boleh aku tanya sesuatu?” ucap Felita ragu, gelisah.

“Ya? Kenapa, Sya?”

“Pembunuh Ferry… bukan Kakak kan?”

Angel tertegun. Ditatapnya Felitsa lama. Kemudian ia menggeleng pelan.

“Bukan, Sya,” terdengar tak yakin.

Felitsa memeluk Angel. “Maafkan aku, Kak…”

“Tak apa-apa, Sya…,” Angel memejamkan mata.

Kepedihan mencabik hatinya. Tapi demi janji itu dia harus mengingkari semuanya. Tanpa kecuali.

Selanjutnya hanya hening dan detak jam dinding yang menggema. Juga bunyi teratur bola-bola logam yang masih beradu di atas meja Angel. Felitsa mendekatinya. Matanya mengabut.

Baca juga :  Lupa, Memang Suka Lupa

Mereka pernah punya benda serupa. Ada di dalam ruang kerja sang Papa. Betapa menyenangkan melihat bola di bagian tepi terpental-pental. Kilap bolanya terlihat begitu indah.

Dan yang lebih indah adalah dongeng-dongeng yang selalu diceritakan Papa atau Mama seusai mereka bermain bandul momentum itu. Kisah-kisah bahagia yang pada akhirnya terenggut paksa. Tanpa bisa dinikmati lagi. Menorehkan luka jiwa yang meninggalkan rasa hampa.

* * *

Frustrasi? Sangat.

Dengan gemas Lukas meninju dinding kamar. Terbayang betapa polos dan tertekannya gadis itu ketika menjawab pertanyaannya. Sebuah rasa tertekan yang sungguh wajar. Perasaan tertekan karena ibu angkatnya terancam meringkuk di penjara. Tak ada yang aneh. Secuil pun.

Dia yang terlalu pandai? Aku yang terlalu terbawa perasaan? Atau memang naluriku salah?

Lukas termangu-mangu dalam gelap. Detil pembunuhan Ferry Frianto dengan gamblang sudah dipaparkan Luita Hadikusumo. Pas hingga ke sudut-sudut rumit puzzle. Bahkan hingga ke pembunuhan Annabel, eksekutor Ferry, oleh Luita sendiri. Detil itu hanya diketahui Luita seorang. Dan siapa sosok Annabel? Hanya Luita dan Ferry yang tahu. Mucikarinya? Perempuan berdandan menor itu mengangguk mantap ketika sebuah sketsa wajah cantik tersangka pembunuh Ferry ditunjukkan oleh polisi.

“Ya, dia Annabel.”

Sama sekali lain dengan deskripsi wajah Angel.

Dengan geram Lukas membanting tubuhnya ke atas kasur. Selama ini nalurinya tak pernah salah. Jauh di lubuk hatinya keyakinan bahwa pembunuh Ferry Frianto adalah Angel tak pernah luntur.

Bukan Luita Hadikusumo. Sama sekali bukan Luita!

Tapi apa buktinya? Semua bukti sudah lengkap merujuk pada satu nama. Luita Hadikusumo. Perencana pembunuhan Ferry Frianto, sekaligus pembunuh Annabel, eksekutor Ferry Frianto. Lalu ke mana perginya jasad Annabel?

“Sudah saya buang ke laut,” jawab Luita, kukuh. Dingin

Dan kasus pun ditutup. Dengan kesimpulan Luita Hadikusumo adalah memang benar pembunuh Ferry Frianto. Tepat seperti pengakuan tertulis perempuan itu.

Semuanya meninggalkan serbuan denyar tak puas di sekujur pembuluh darah dan syaraf rasa Lukas. Memaksa nalurinya berteriak dan berontak. Membuat otaknya nyaris lumpuh, tak lagi mampu berpikir.

Baca juga :  Kepada Negaraku

Blank. Hampa… Ia memang benar-benar tak punya bukti apa-apa.

* * *

Luita tersenyum tipis. Sebetulnya berapa pun hukuman yang harus ia jalani, ia terima. Bahkan hukuman mati sekali pun. Sesungguhnya ia puas. Sangat puas. Karena jalinan rapi yang sudah disusunnya tak menyisakan celah sedikit pun untuk bisa ditembus naluri tajam polisi. Sempurna!

Ada untungnya juga hidup bertahun-tahun bersama seorang pembunuh… Luita menyambung alur pemikirannya itu dengan tawa panjang dalam hati. Dan ketika vonis itu dijatuhkan, Luita menerimanya dengan senyum. Menutup sayatan-sayatan dari masa lalu yang telah begitu dalam ditorehkan Ferry. Hukuman penjara seumur hidup. Bukan hukuman mati. Luita tahu kenapa. Karena sesungguhnya banyak orang bersyukur dan berterima kasih padanya karena ia telah menghabisi Ferry. Termasuk seluruh hamba hukum yang menangani kasusnya.

Kalau pun ada yang memberatkannya, itu cuma soal pembunuhan Annabel, sosok fiktif yang bahkan skenarionya pun Angel tak tahu. Hanya saja kalau gadis itu mau mengingat, perubahan total rias wajahnyalah yang membuatnya menjelma jadi Annabel. Dan nama Angel itu, hanya Ferry Frianto yang tahu.

Ia tetap melenggang pergi menyongsong selnya ketika banyak pasang mata menatapnya hampa. Mata anak-anaknya. Tapi garis sudah terlanjur dilukiskan. Tak lagi bisa dihapus. Menghapus garis itu hanya akan membahayakan Angel.

Mimpinya sudah terbayar lunas. Tuntas dengan kematian Ferry Frianto. Bila orang-orang yang pernah dibuat susah dan disakiti Ferry Frianto masih boleh memiliki mimpi, silahkan saja menikmati mimpi itu.

Dan di sudut sana, seorang perempuan setengah baya mengusap tetesan bening yang nyaris menggelinding di sudut matanya. Kau yang memintanya, Lui, bisiknya perih dalam hati. Kau sahabatku yang paling baik, tapi kau memaksaku turut ambil bagian dalam skenario gila untuk menjerumuskan dirimu sendiri…

Lalu perempuan itu beringsut dalam diam. Berbalik menuju ke rumah bordil miliknya. Jauh di tepi kota.

* * *

(Bersambung ke episode berikutnya : Vendetta 11 : Black Hole)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 comment