Belajar Kebesaran Jiwa dari Ruhut Sitompul

Apa yang dapat kita pelajari dari seorang Ruhut Sitompul yang penuh dengan sisi buruk dan dikenal sebagai penjilat penguasa? Belum lagi bicaranya yang seenak udel dan menyakitkan itu. Tapi sebagai manusia Ruhut pasti memiliki sisi baiknya. Bagaimanapun ia termasuk politisi yang bersih sampai saat ini.

Sejatinya setiap manusia memiliki sisi baik dan buruk. Tergantung mana yang lebih dominan. Kebaikan dan kejahatan selalu menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ini sudah merupakan keniscayaan.


Sebaik-baiknya manusia pasti pernah melakukan kesalahan. Sebaliknya sejahat-jahatnya manusia pasti pernah melakukan kebaikan. Ini adalah kebenarannya.


Sama halnya dengan seorang Ruhut Sitompul, pengacara dan politisi yang selama ini dikenal kontroversi dengan komentar dan kehidupan rumah tangganya. Kita masih boleh belajar atas kebesaran jiwanya yang dengan tegas mundur dari jabatannya sebagai Ketua Komisi III DPR yang membidangi hukum.

Seperti yang kita tahu, Ruhut ditunjuk oleh Partai Demokrat menjadi Ketua Komisi III DPR. Namun penolakan segera berdatangan atas penunjukkan ini dari anggota komisi. Ruhut dianggap tidak pantas dengan segala reputasi buruknya. Ia juga dianggap tidak kredibel memimpin komisi hukum. Padahal kalau mau jujur yang menolak pun belum tentu lebih baik dari Ruhut.

Baca juga :  Jangan Menghina Diri Sendiri

Atas penolakan itu akhirnya pada Senin, 7 Oktober 2013 di Gedung DPR, Senayan, Ruhut memutuskan dengan tegas dan iringan air mata untuk mengundurkan diri sebagai Ketua Komisi III. Dengan tegas pula Ruhut menolak mekanisme pemungutan suara sebagai pilihan untuk menentukan ketua komisi.

Tidak sedikit yang bersimpati dan ikut terharu atas pengunduran diri Ruhut ini. Karena di negeri kita yang penuh dengan pejabat haus kekuasaan, pengunduran diri merupakan peristiwa langka. Perlu sebuah kebesaran jiwa untuk mengambil keputusan ini.

Namun tetap masih ada yang berprasangka buruk, bahwa air mata yang ada adalah air mata buaya. Benarkah?

Saya pikir, tidaklah perlu kita selalu menyimpan prasangka buruk itu. Mengapa kita tidak memilih berbaik sangka kalau pilihan itu ada? Mengapa kita tidak mau menganggap hal itu sebagai kebesaan jiwa seorang Ruhut dan kita mengambil peristiwa itu sebagai cermin?

Baca juga :  Iklan Pen*p* Paling Lucu Sedunia

Apakah kita masih memiliki kebesaran jiwa untuk menghargai hal baik yang bisa dilakukan seseorang yang selama ini kita cap tidak baik?

Apakah kita bisa berbesar jiwa untuk menerima kenyataan, bahwa seorang Ruhut yang sudah kita cap berkelakukan buruk itu tetap masih memiliki sisi baik yang pantas untuk kta hargai?

Terlepas dari segala kontroversi dan kehidupan rumah tangganya, sikap tegas Ruhut untuk mengundurkan diri sebagai Ketua Komisi III patut diapresiasi. Apalagi Ruhut masih menganggap rekan-rekan yang menolaknya sebagai sahabat dan mau berangkulan dengan mereka. Kalau tidak memiliki kebesaran jiwa, tentu hal itu sulit dilakukan.

Bagi saya sendiri masih bertanya-tanya. Apakah saya sanggup melakukan seperti apa yang dilakukan Ruhut Sitompul?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *