Empati

 

Menertawakan kesusahan dan kekurangan orang lain itu secara umum memang sudah menjadi kebiasaan kita. Boleh dianggap sebagai hiburan tersendiri dan menyegarkan suasana, sehingga kita tidak perlu merasa bersalah melakukannya. Sudah biasa.

Hal ini semakin disahkan secara nasional. Lihatlah acara-acara lawak di televisi kita, banyak berisi saling ledek atas kekurangan fisik pelawaknya untuk memancing tawa kita. Spontan kita larut dalam tawa.

Ada juga acara yang sengaja mengerjai sampai ketakutan dan menangis-nangis korbannya demi untuk memancing kehadiran tawa kita. Syukur-syukur sampai terbahak-bahak.

ALIBI TAK PERLU EMPATI

Tanpa kita sadari ini melatih kita jadi reflek untuk menertawakan kekurangan atau kesusahan orang lain sebagai hal yang lumrah. Lama-lama kita jadi kehilangan rasa empati. Hebatnya, kita selalu punya alibi untuk merasa pantas tidak berempati.

Belum lama ini, tepatnya Jumat, 29 November 2013 muncul berita yang cukup menghebohkan sehubungan dengan laporan seorang mahasiswi Universitas Indonesia ke Polda Metro Jaya atas perbuatan  tidak menyenangkan yang disangkakan ke Sitok Srengenge, penyair perkenal.

Korban, RW (22) dikabarkan saat ini sedang hamil akibat perbuatan tidak menyenangkan sang penyair. Dalam keadaan depresi dan pernah melakukan beberapa kali percobaan bunuh diri.

Baca juga :  Mau Sampai Kapan TKI Terus jadi Korban

Kebenaran yang sebenarnya belum kita ketahui, masih ditangan pihak kepolisian. Tetapi kita sudah mendahului dengan imajinasi. Bahkan kasus ini menjadi lelucon yang menyenangkan dengan persepsi kita sendiri.

Kita mempersepsikan bahwa perbuatan yang menyebabkan sang mahasiswi hamil terjadi atas dasar suka sama suka. Apakah demikian? Persepsi ini secara tidak langsung menunjukkan begitulah perilaku kita.

Kita menyamaratakan, bahwa bila ada seorang mahasiswi hamil, pasti penyebabnya dilakukan atas suka sama suka. Seakan-akan kita menutup peluang, bahwa masih ada mahasiswi yang tidak suka melakukan hal yang tidak bersusila itu.

Apakah alibinya karena diri kita sendiri seperti itu, sehingga persepsi kita jadi begitu?

 

BEREMPATI PADA NURANI

Memahami kasus yang terjadi, sepantasnya kita menjaga rasa dengan berempati kepada kedua pihak. Baik kepada pelaku, Sitok Srengenge, maupun RW yang saat ini dalam posisi sebagai korban sesuai dengan pelaporan.

Karena hal ini, apapun itu, keduanya dalam tekanan secara kejiwaan. Ada beban tersendiri dan sudah kepalang malu. Reputasi dipertaruhkan dan masa depan tergadaikan kasus ini. Bayangkan andai kita sendiri yang mengalami kasus ini.

Siapapun pasti akan merasakan ketidaknyamanan bila mengalami kejadian ini. Stress. Kecuali sudah kehilangan rasa dan hati, sehingga dianggap angin lalu.

Baca juga :  Cara Saya Ngerjain Scammer yang Menjanjikan Hadiah Mewah

Tentu kurang etis kemudian justru kita melakukan dengan menulis hal yang tidak menyenangkan dengan lelucon yang jika terbaca semakin menambah beban dan hati yang teriris. Khususnya kepada sang mahasiswi yang kini sedang mengandung janin.

Memang sulit rasanya dengan keadaan kita saat ini untuk tetap dapat menjaga rasa empati. Pikiran dan hati kita lebih memilih suka sama suka untuk bekerjasama memperkosa nurani yang menghadirkan tawa tanpa peduli ada yang tersakiti. Lalu dengan pongah kita berujar,”Emang gue pikirin. Yang penting gue suka, lu susah urusan sendiri.”

Ya ampun! Minimal bisalah kita berempati pada nurani sendiri, agar masih memiliki sedikit rasa manusiawi. Menuliskan hal ini, juur saya malu pada diri sendiri yang masih terlalu banyak memiliki tawa atas kesusahan orang lain.

AFIRMASI:

Ya Tuhan, ampunilah kepongahan hatiku, sehingga tidak tersisa rasa empati kepada sesamaku yang sedang dalam masalah dan kepahitan hidup. Ampuni aku yang karena ketidaksadaran seringkali memperkosa sesamaku dengan kata-kata yang tak pantas yang bukan hanya menyakitnya tapi juga nuraniku sendiri.

@refleksihatidipagihari

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 comments

  1. Setuju pak. Setiap orang tentu saja berhak mengeluarkan pendapatnya.selama tidak tendensius menghakimi seseorang. Dimana ada hak,tentunya ada kewajiban. Karena hak ,tanpa kewajiban ,akan menjadikan seseorang sebagai diktator, Sebaliknya kewajiban,tanpa hak adalah perbudakan…Terima kasih. Saya tidak tahu persis masalahnya. Jadi yang saya komentari,adalah tentang ,jangan menghakimi orang lain..Terima kasih dan salam hangat

    1. Kita sepemahamn dalam hal ini, apalagi yang mau dibahas itu masalahnya belum jelas, sehingga bisa juga timbul yang namanya fitnah. Terima kasih, Pak Tjip, salaman

  2. ah, dicari2 ternyata disini. memang sangat miris melihat atau mendengar kedukaan yang dialami seseorang sebagai candaan bung. tapi itulah cermin masyarakat sakit sehingga gagal menempatkan diri. tinggal kembali pd diri kita saja untuk menyebarkan empati dengan tulisan seperti ini, semoga semakin banyak yang membaca maka menggugah kita semua untuk mau berbagi kesedihan dgn orang lain. aduh, jadi lebay gini bung. sip bung. teruskan kiprahnya 🙂