Katak Lompat Dari Tempurung

Malam ini saya wiskul bersama putri tercinta. Wiskulnya bukan karena trend. Gas dirumah habis, bahan makanan nggak ada, mau pergi jalan jauh malas. Akhirnya kedepan rumah yang banyak warung makan. Komplit, dari indomi telur-rawit hingga kepiting goreng mentega. Dulu saya pernah ‘malu’ karena tinggal di perumahan sektor merakyat. Seperti kisah Oom Tjipta yang membahas ‘rendah hati jembatan persahabatan.’ – Saya malu tinggal di rumah RS. Padahal RS-nya di perumahan yang boleh dikata papan atas. Masih merasa malu. Ya, astaga ilmu bersyukurnya masih cetek sekali! Didepan rumah banyak warung jadi kesannya kumuh dan enggan kalau banyak teman dan kerabat berkunjung. Malu, tinggal kok di tempat kaya gini! hehe..

Padahal yang datang berkunjung komennya macam- macam. Rumahnya besar. Rumahnya bersih sekali. Rumahnya strategis sekali. Kemana-mana dekat. Dekat jalan besar. Ke terminal bis dekat, pasar dekat, pusat ruko didepan rumah. Ya, saya masih malu karena bentuk rumahnya RS jadoel. Maunya yang bergaya model baru. Gaya kastil atau gaya mediterania atau minimalis. Yang pagarnya lapis tujuh, satpamnya satu batalyon, pembantu beberapa sesuai sub dinas pekerjaan umum. Pokoknya mengerikan ya, ketika ambisi dan hasrat membuat saya berpikir, “Kok cuma segini nih, capaian hidup gue?…” Sekarang satpam cuma satu – buat se-RT maksudnya! Lalu pekerjaan rumah tangga dilakukan bertiga. Bukannya sok tapi ya ada beberapa mesin yang memperingan pekerjaan. Masalah ART – asisten rumah tangga, saya sudah menyerah. Bahwa sesungguhnya per-pembantuan itu tidak sesuai dengan peri-kerumah-tanggaan. Kalau mau yang pro bayar mahal, kalau yang ngasal ujian iman (jangan sampai murka dan zholim kepada ART).

Baca juga :  Rompi Atut

Tadi wiskul, putri saya pesan nasi goreng dan saya pesan sate padang plus sotonya. Tiba-tiba datang seorang perempuan, menggendong bayi dengan berbagai selimut/selendang bergantungan di bahunya. Penampilan yang amburadul, “Bu ini kosong?” Tanyanya. Saya jawab, “Ya, silahkan….” Lalu suaminya datang. Nggak kalah ruwet, membawa tas plastik tentengan yang banyak. Ribed amat ya? Mungkin bawa termos buat bayi atau habis belanja? Atau entah bawa apalagi. Habis hujan dan keduanya tampaknya berboncengan naik motor. Duh, kesian bayinya pikir saya. Lalu sang suami mulai bertanya, “Kamu mau makan apa? Apakah makan mie goreng engga repot sambil gendong bayi kita? Atau makanan apa yang gampang kamu pesan?” Saya diam-diam nguping dan memandangi si keluarga kecil sederhana. Memang ribed, membawa bayi, tas segubrag, suaminya harus pesan makanan dulu ke warung sebelah juga. Gimana cara makan malamnya? Gantian? Lalu mereka memperhatikan saya dan putri saya. Sang suami mendadak bicara (pada istrinya), “Saya dulu tidak mau kuliah karena saya anggap berat dan penuh perjuangan lagi… Rasanya susah sekali kalau harus kuliah lagi. Akan memberatkan hidup, …” Mereka lalu berbicara lagi dengan hangat dan santai. Makan di warung tidak beda jauh dengan gaya makan di Steak House atau Japanesse Resto ketika hati gembira.

Baca juga :  Código Promocional 1xbet Qual é o 1xbet Bônus
oprah
foto: modernmarried.com

Saya tidak menyimak pembicaraan lanjutan karena acara makan malam dengan putri saya sudah selesai. Kami lalu beranjak pergi. Saya melihat sepasang pasutri itu gembira, enjoy, sederhana tapi tetap menyambut kehidupan dengan spirit untuk bahagia. Kalau dipikir dulu ketika putri saya bayi. Bolak-balik saya minta pembantu. Bahkan sempat dua orang, satu pembantu dan satunya lagi nanny khusus untuk merawat bayi. Yang mana justru lebih merepotkan mengasuh kedua ‘staff” tersebut daripada bayi saya. Ketika saya kurang bepergian, kurang menemui orang-orang baru. Ketika saya hanya menetap bagaikan katak dalam tempurung, saya tidak tahu kehidupan orang lain. Saya hanya tahu pola kehidupan yang ditanamkan kepada saya. Yang dicontohkan oleh lingkungan sekitar saya. Yang dianjurkan oleh kerabat terdekat saya. Ketika saya melompat keluar dari tempurung yang selama ini membatasi, saya mulai mengerti bahwa saya bersikap terlalu keras kepada Tuhan. Iya, saya bukan bersikap keras pada diri sendiri, wong saya merasa upaya saya melakoni kehidupan biasa saja, santai dan malas! Tetapi tuntutan yang saya ajukan, ‘azaz keadilan’ yang saya canangkan setinggi langit bagi saya. Merasa kurang. Merasa tidak happy. Merasa jalan di tempat. Merasa jauh tertinggal dari teman-teman yang berlomba ‘wah’. Sekarang saya malu. Karena saya katak yang tidak tahu diri. Sudah dikasi tempurung emas oleh Tuhan, masih rewel juga. Hedewh,… Saya punya suami dan putri yang super amazing, both of them!  Yuk, bersyukur! 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 comments

  1. tulisan yang menginspirasi sekaliii. salut sama, Mbak yang mau keluar dari tempurungnya https://blograkyat.com/wp-content/plugins/wp-monalisa/icons/wpml_good.gif

  2. Ci Jo, makanya gak usah jadi katak deh, jadi gak usah loncat2 lagi dan setiap hari bisa makan di warung, melihat berbagai tipe manusia, lumayan buat bahan tulisan :alay

    1. bwekekek iyaaa…. setiap hari makan di warung kok, memang memperhatikan org kadang ngayal sendiri…”ini orang kisah hidupnya gimanaa yaaaa…”