[MBLR] Akhir Dari Penantian

1365039959114486655_300x260.7421875

Aku tidak tahu banyak perihal percintaan. Usiaku baru juga beranjak remaja. Di desa tidak ada anak-anak seumurku yang punya pacar. Berbeda sekali dengan anak kota, seperti yang sering aku lihat di sinetron-sinetron tv itu.

Makanya aku juga tidak paham kenapa ibu suka ngomelin mbak Wati. Masalahnya sudah 3 kali ia menolak laki-laki yang ingin menjadikannya istri. Ada Pak Imam, guru agama sekolahku.

“Lah kurang apa si Imam itu ‘wat…PNS..baik..paham soal agama?” tanya ibu kala itu.

Aku menguping dari dalam kamar ketika malam itu bapak dan ibu menceramahi mbak Wati di ruang tamu. Mbak Wati menolak dengan halus niat Pak Imam yang datang malam itu bersama orang tuanya.

“Saya tidak punya perasaan apa-apa sama mas Imam itu pak.” Jelas mbak Wati.

Kedua kali, mbak Wati menolak Kang Harjo. Laki-laki yang usahanya jualan ayam di pasar. Hampir tiap hari ia dan keranjang-keranjang ayamnya itu lewat depan rumah kami. Ayah bilang kang Harjo pemuda yang rajin dan cocok buat mbak Wati. Tapi mbak Wati menolak dengan halus.

Terakhir adalah pak lurah yang juga ditolak. Mungkin karena mbak Wati enggan jika harus menikah dengan duda beranak empat itu. Aku pun sebagai adik tidak berkenan jika mbak Wati menikah dengan pak lurah. Karena yang aku tahu empat anak pak lurah yang semuanya laki-laki itu naka-nakal semua.

Mbak Wati sendiri saat ini usianya tepat 10 tahun diatas aku, 24 tahun. Teman-temannya sudah pada nikah semua. Di desa kami, tidak ada gadis yang usianya diatas 20 tahun yang belum menikah. Bisa jadi omongan orang sedesa jika masih ada yang melajang.

Tapi tidak bagi mbak Wati. Ia seakan tidak perduli dengan orang-orang, termasuk bapak dan ibuku. Seolah-olah tidak ada yang penting untuk dipikirkan. Hari-harinya hanya berkutat dengan mesin jahit. Membuat segala pesanan baju ibu-ibu desa. Dan itu semua sepertinya cukup membuat ia bahagia.

Mbak Wati perempuan yang cantik, secantik ibu. Kulitnya bersih bak pualam. Berbeda dengan aku yang gelap seperti kulit ayah. Ia benar-benar seorang perempuan, hobinya pun hobi para perempuan.Tidak seperti aku yang sukanya bermain layang-layang dan memanjat pohon bersama anak laki-laki desaku. Jadi jangan heran jika banyak pemuda yang tertarik padanya.

Baca juga :  Conquering the Streoytypes in Going out with a European Female

Yang bikin heran hanyalah kenapa mbak Wati lebih memilih untuk belum mau menikah hingga saat ini. Padahal orangtuaku sudah kebelet ingin punya cucu. Itu juga yang menjadi alasan mereka mendesak mbak Wati untuk segera memilih pendamping.

Jawaban dari semua pertanyaan tentang mbak Wati ternyata ada di buku tebal berwarna merah jambu. Secara tidak sengaja aku menemukan buku harian tebal itu di laci meja riasnya. Aku menuruti godaan untuk membacanya.

Halaman demi halaman aku baca pelan-pelan. Sebuah catatan harian dengan tulisan tangan yang rapi dan halus dengan tinta biru. Kata-kata dirangkai dalam kalimat-kalimat yang indah dan sedikit membingungkan. Ada banyak kata tentang cinta dan kesetiaan. Sebuah nama tertulis di dalamnya “Satrio”.

“Satrio..siapa Satrio?” begitu gumamku dalam hati.

Sebuah halaman isinya menarik minatku untuk membaca lebih dalam. “….aku selalu percaya pada diriku sendiri. Percaya pada besarnya cintaku pada mas Satrio. Biar sementara orang mengatakan aku bodoh. Aku tidak peduli….. aku percaya pada semua impian kita tentang masa depan, tentang sebuah keluarga yang didasari atas cinta … Dan mimpiku bukan puing, aku berdiri membangun mimpi di atas mimpi. Doaku selalu untukmu mas

Sejak hari itu aku sedikit bisa mengerti mengapa mbak Wati tetap melajang. Namun siapa sosok “Satrio” yang ada dalam buku hariannya belum juga aku temukan. Aku tidak berani bertanya langsung pada mbak Wati. Ia pasti akan marah sekali karena aku telah lancang mencuri baca buku hariannya itu.

Lama akhirnya aku pun lupa dengan semuanya. Bapak-Ibu sendiri mungkin sudah bosan membahas soal pernikahan. Tidak ada lagi ribut-ribut, tidak ada lagi laki-laki yang berani ke rumah untuk melamar. Karena sudah tahu bahwa akan ditolak mbak Wati.

Dua tahun berjalan sampailah pada suatu malam. Sehabis aku menunaikan sholat di mesjid tak jauh dari rumah. Ada tamu di rumahku, duduk bersama Bapak-ibu dan juga mbak Wati. Laki-laki itu tersenyum ketika melihatku masuk.

Baca juga :  Abu Bastian Palsu Mengancamku, Ngga Takut Tuh!

“ Sini Yan…mbak kenalkan sama mas Rio….” pinta mbak Wati.

Aku berjalan mendekat pada laki-laki itu seraya mengulurkan tangan.

“ Yani…” sapaku sambil tersenyum.

“Rio…” jawab laki-laki itu.

“Ganteng juga..” pikirku dalam hati.

Laki-laki itu memang ganteng. Berkumis seperti bapak, namun lebih tipis. Wajahnya bersih bersinar. Aroma minyak wangi lembut terasa di hidungku. Usianya sepantaran mbak Wati.

“Atau…ini jangan-jangan…ah..apa iya ini..” aku bertanya-tanya dalam hati.

“ Sini dek…duduk dekat mbak…” kata mbak Wati tiba-tiba sambil tersenyum. Wajah mbak Wati kali ini cerah berseri-seri. Berbeda ketika harus menerima tamu-tamu yang lain.

Aku beralih duduk dekat mbak Wati sambil menyimak. Dari perbincangan aku menangkap ternyata laki-laki bernama Rio itu baru saja pulang dari Arab yang bekerja sebagai TKI. Ia dulu teman SMA mbak Wati yang tinggal di desa seberang.

Bapak-ibu pun terlihat senang dengan kehadirannya. Jarang-jarang aku lihat mereka begitu ketika menghadapi laki-laki yang datang ke rumah.

Sambil tetap mengamati laki-laki yang telah membuat mbakku ceria itu, ingatan tiba-tiba melayang pada nama yang ada di buku harian mbak Wati.

“Mas itu… Satrio bukan mbak?” bisikku ke telinga mbak Wati.

Mbak Wati menoleh ke arahku sambil membelalakan mata.

“ Ha….dari mana kamu tahu…kamu baca ya!?” hardiknya tiba-tiba.

Aku terdiam dan juga seisi ruang tamu. Aku hanya menundukan kepala tak berani menjawab.

“aduh..gawat ini. Mbak Wati pasti benar-benar marah.” Pikirku dalam hati.

Tiba-tiba…mbak Wati memeluk pundakku. Ia menarik wajahku ke arahnya.

“ Ya benar ‘dek. Mas itu Rio alias Satrio…..bakal jadi mas mu juga.” Katanya sambil tersenyum manis padaku.

Aku tidak bisa berkata apa-apa selain ikut tersenyum kecil. Hatiku masih campur aduk. Masih antara terkejut, takut dan gembira.

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

7 comments

  1. hemm, umur 24 mah masihh muda banget buat meriittttttttttttttt…… hahahhahahahahah……. ikutan cie kim, salam juga buat mas satrionya….:)https://blograkyat.com/wp-content/plugins/wp-monalisa/icons/wpml_good.gif

  2. Buah dari kesabaran itu manis rasanya ya..

    Btw itu twiternya, ya ? hehehe..ini twiter saya @inemgaseksi

    hihihihi