Menggugat Nasionalisme Negeri Agraris

Buat apa kita membikin grondwet [UUD], apa gunanya grondwet itu kalau ia tidak dapat mengisi perutnya orang yang hendak mati kelaparan. (Soekarno)

Anggapan selama ini bahwa Indonesia disebut negeri agraris lama-lama bisa menjadi kenangan. Angka impor pangan sudah mencapai 70 persen. Jumlah petani kita makin sedikit (38 juta). Area persawahan pun kian surut karena beralih fungsi. Yang paling utama bagaimana nasib masa depan petani kita?

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dalam kurun waktu Januari hingga November 2013, pemerintah Indonesia mengimpor lebih dari 17 miliar kilogram bahan pokok senilai Rp 104.9 trilun. Ironisnya, sebagian komoditas pangan yang diimpor justru dapat diproduksi di negeri sendiri seperti beras, gula, cabai, bawang merah, daging sapi, dan jagung.

Tabel 1. Impor Komoditas Pangan Utama Indonesia

No Komoditas 2004

(Ribu Ton)

2013

(Ribu Ton)

Perubahan

 (Persen)

1 Gula 1.200,0 2.500,0 108,33
2 Kedelai 1.100,0 1.200,0 9,09
3 Jagung 1.089,6 1.805,3 65,68
4 Beras 236,9 302,3 27,61
5 Bawang merah 48,9 68,6 40,29
6 Daging sapi 1,8 23,2 96,61
7 Cabai 7,5 12 60,00

Sumber: Litbang Kompas, (Kompas, 18/3/2014)

Bagaimana dengan jumlah petani saat ini? Menurut BPS jumlah rumah tangga pertanian tahun 2013 sebanyal 26,13 juta. Angka ini menurun dibandingkan tahun 2012 yaiut 31,17 juta. Sementara laju konversi lahan pertanian berkisar 100.000 ha per tahun. Pencetakan sawah baru hanya 40.00 ha. Inilah potret pertanian kita saat ini.

Menjelang Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tahun 2015, liberalisasi perdagangan internasional juga bisa berdapampak bagi petani kita. Petani kita dipaksa bersaing dengan petani negara maju yang memiliki sistem pertanian yang efisien.

Kekalahan telak petani kita adalah bidang teknologi produksi, efisiensi, dan pemasaran dari petani di negara-negara maju. Saat ini saja telah menjamur berbagai perusahaan benih dan pupuk milik asing. Mereka telah berhasil memasarkan produknya dengan memberikan jaminan peningkatan produktivitas yang tinggi dan cepat.

Menjamurnya impor pangan, menurunnya jumlah petani, surutnya area persawahan dan masukya produk perusahaan asing menjadi persoalan serius bangsa kita. Pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab mengatasi persoalan ini. Pihak lain (perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan petani) menjadi pendukung memecahkan masalah ini.

Sekarang kalau mau bicara nasionalisme sebetulnya bisa kita kaitkan dan diterapkan di bidang pertanian. Pendiri bangsa ini telah mengamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Berdasarkan amanat di atas mestinya bumi pertiwi sedapat-dapatnya memakmurkan rakyatnya. Maka Soekarno bilang, “…apa gunanya grondwet itu kalau ia tidak dapat mengisi perutnya orang yang hendak mati kelaparan.” Bagaimana rakyat bisa makmur jika petaninya saja tertekan oleh persoalan tadi. Asasnya adalah urusan pangan negara kita tidak boleh bergantung pada bangsa lain.

Mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan pemenang Nobel Perdamaian Henry Alfred Kissinger mengatakan, “Control oil and you control nations; control food and you control the people.” Kita tidak bisa mengabaikan sektor pertanian demi kepentingan apapun! Negara boleh saja membangun bangsa berbasis sektor industri, tetapi kultur pertanian Indonesia harus dimajukan.

Jika para elit pemimpin bangsa mengabaikan masalah pertanian maka mati konyol bangsa kita. Indonesia memiliki jumlah penduduk sebesar 250 juta, jika kedaulatan pangan terancam maka kebutuhan pangan bangsa bergantung terhadap bangsa lain. Ini tidak boleh kita biarkan.

Karena itu para pengambil kebijakan dan ahli-ahli pembangunan pertanian di negeri ini dituntut untuk bekerja lebih keras guna melaksanakan pembangunan pertanian dengan paradigma baru. Paradigma baru yang dimaksud bukan sekadar strategi karena strategi yang ada sudah cukup baik yakni agribisnis pertanian.

Namun yang perlu dibaharui adalah anggaran untuk sektor pertanian mesti dinaikkan. Selama ini tak lebih 3 persen dana Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) untuk pertanian. padahal 60 persen penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian. Sebagai catatan, data BPS (2010) menyatakan bahwa sekitar 63% rumah tangga miskin menggantungkan hidupnya di sektor pertanian.

Selain itu pemerintah harus mengendalikan laju konversi lahan pertanian. Negara tidak boleh serta-merta memberi izin agar area persawahan disulap menjadi area industri, mal, kebun, perumahan, dll. Inilah yang sering diabaikan pemerintah. Maka tak heran banyak petani beralih profesi karena lahan pertanian telah beralih fungsi.

Menurut BPS (2009) luas lahan sawah Indonesia jauh tertinggal, yakni 8,06 juta hektar dan tegalan/kebun 12,28 juta hektar. Amerika Serikat memiliki lahan pertanian sekitar 175 hektar, India (161 juta), China (143 juta), Brasil (58 juta), dan Australia (50 juta). Luas lahan per kapita Indonesia 0,03 hektar. Bandingkan dengan Australia 2,63 hektar; AS (0,61); Brasil (0,34); China (0,11); India (0,16); Thailand (0,52); dan Vietnam (0,10) (Kementan Pertanian, 2011).

Amerika, Belanda, Jerman dan Jepang bukanlah kategori negara agraris, tetapi pertaniannya sangat maju. Bahkan beberapa komoditas pangan mereka diekspor ke negara lain, termasuk Indonesia. Ini karena pemerintahnya terus memajukan sektor pertanian. Pemerintah mereka melakukan seperti apa yang dibilang Henry Alfred Kissinger, “…control food and you control the people.”

Buktinya, Amerika Serikat dikenal sebagai penghasil kacang kedelai, gandum, dan kapas. Harga produk kedelai sangat mempengaruhi harga dunia, termasuk Indonesia. Belanda dengan luas wilayah relatif kecil dibandingkan Indonesia, pada tahun 2011 berada peringkat 2 sebagai negara pengekspor produk pertanian di dunia. Produk andalannya adalah bunga dan sayuran. Di Jepang, setiap lahan kosong dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dengan optimal. FAO menjadikan daerah pertanian di Jepang masuk dalam daftar warisan penting sistem pertanian global (Febroni Purba, Jeritan Petani, Padang Ekspres, 24/09/2013).

Nasionalisme negeri agraris perlu dijadikan semangat pada Hari Kebangkitan Nasional. Mari kita isi kemerdekaan untuk menjadikan pertanian sebagai sektor pembangunan bangsa. Demi kemakmuran petani Indonesia.

Penulis : Febroni Purba

Baca juga :  Cara Membuat Website Judi Online, Berikut Tutorialnya

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *