Menyoblos

Akhirnya yang ditunggu – tunggu datang juga. Dua hari sebelum pemilihan presiden (pilpres) datang 2 surat undangan untuk memilih pada tanggal 9 Juli 2014. Soalnya sudah tidak sabar menyoblos karena sudah punya pilihan yang  mantap.

Kebetulan saya sedang tidak di rumah, sehingga di terima sama si dede. Seperti pada waktu pemilihan legislatif (pileg) kami juga mendapat dua lembar undangan. Tetapi kali ini berbeda, atas nama saya malah tidak ada dan yang ada malah atas nama anak saya yang sekarang tinggal di luar daerah.

Kok bisa? Saya minta istri untuk klarifikasi ke RT masalah ini, tapi disarankan untuk membawa surat undangan atas nama anak saya saja. Saya menolak, takut ada masalah nantinya. Baru pada hari penyoblosan istri menanyakan lagi _sebab saya masih di tempat kerja_ dan ternyata surat undangan atas nama saya masih tertumpuk di meja panitia bersama surat undangan untuk pemilih lain.

Tidak heran beberapa tetangga tidak mendapat undangan. Entah ini kesengajaan atau kelalaian. Istri saya curiga ada apa – apanya. Sebab saat hendak memilih pun istri saya diarahkan untuk memilih salah satu pasangan oleh salah satu aparat desa. Tentu saja istri dengan tegas menolak, katanya mau memilih sesuai hati.

Baca juga :  Tidak ada 'Pilot Otomatis' di Kehidupan

Cuma sayang untuk pemilihan presiden di tempat saya malah agak sepi dibandingan pada waktu pileg. Apakah ini ada hubungannya dengan politik uang yang juga agak sepi terdengar? Berbeda dengan saat pileg, dimana politik uang santer terdengar dengan istilah serangan fajar. Bukan hanya dalam bentuk uang yang dibagi – bagikan, ada juga yang dalam bentuk sembako atau mie instan.

Entah mengapa yang namanya politik uang atau paksaan untuk memilih tokoh tertentu masih selalu marak sampai saat ini? Khususnya politik uang tidak bosan – bosannya dilakukan, padahal himbauan atau karangan sudah berbusa – busa.

Soal uang siapa yang tidak doyan? Jadi selama yang yang mau menerima, pasti akan ada yang mau melakukannya. Kecuali sudah tidak ada yang mau menerima lagi. Bisa juga bila yang ketahuan melakukan politik uang akan mendapat tindakan yang tegas. Pasti pada kapok.

Baca juga :  UU No.43/1999: Capres Jokowi Terancam Batal Demi Hukum?

Dengan kita berpartisipasi dalam menyoblos ke bilik kotak suara akan menentukan perjalanan nasib bangsa kita lima tahun ke depan. Tetapi selama ini walau presiden sudah silih berganti kita belum merasakan perubahan yang signifikan.

Korupsi tetap masih merajalela, kinerja pegawai negeri ya begitu – begitu saja, penegakan hukum tetap masih bengkok – bengkok dengan peran mafia hukum tak berkurang. Pembangunan Indonesia Timur masih jauh ketinggalan. Kekayaan alam yang melimpah tetap saja belum mampu menyejahterakan seluruh rakyatnya.

Apakah jerih payah kita menyoblos kali ini akan memberikan hasil nyata dalam bentuk perubahan menjadikan Indonesia bangkit dari keterpurukan dan menjadikan Indonesia sebagai negara yang hebat?

Tetap masih menjadi tanda tanya. Namun yang jelas semua rakyat rindu akan perubahan menuju kepada kebaikan dan rakyat bisa hidup sejahtera dan damai.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 comments

  1. benar sekali, Om Kate. rakyat Indonesia rindu pada perubahan yang menuju kebaikan. semoga pemimpin yang baru sanggup melaksanakannya https://blograkyat.com/wp-content/plugins/wp-monalisa/icons/wpml_good.gif

  2. waaakssss…bicara politik, birokrasi….doooo’h…emang harus sabar 7 turunan…sebenernya kalau elite politik semua udah ‘tobat’ dan hidup sesuai ajaran Tuhan…dah…semua beres! itu aja sih…