Rasa Sebuah Perjalanan

Dulu di majalah remaja Hai ada serial Balada si Roy, ditulis oleh Gola Gong. Ilustrasinya menggambarkan seorang anak muda, menyandang ransel, mengenakan jeans belel. Tampilannya backpacker sejati. Kala itu saya tidak tertarik membaca kisah backpacker semacam itu. Saya pikir akan sangat membosankan dan nelongso melakukan perjalanan dengan gaya backpacker. Ditulis menjadi kisah yang tak ingin saya baca. Yang ditemukan pasti permasalahan yang tidak masuk dalam agenda saya. Mungkin kalau di ibaratkan jaman sekarang saya terpenjara dengan gaya imut Cherrybelle sehingga tidak mau mendobrak kebiasaaan dan menyelami yang tidak biasa. Apa sih enaknya jadi backpacker, bergaya menggelandang dan berkeliling kesana – kemari? Travelling itu sebaiknya with style, ke Maladewa naik pesawat jet!

Lalu beberapa waktu lalu ada film yang booming : EAT, LOVE and PRAY. Diperankan oleh si tenar Julia Roberts dan si ganteng Javier Bardem. Cerita dalam film ini mengalir seperti aliran sungai yang jernih, segar dan derasnya tak berlebihan. Ceritanya sangat remeh-temeh namun mudah diserap. Sehingga buku dan juga novelnya menjadi best seller. Penulisnya adalah Elizabeth Gilbert. Mula itu saya heran, mengapa ada sebuah cerita orang travelling kok dapat sedemikian bagus dan menarik. Lalu salah seorang sahabat saya berkomentar tajam, “Kamu tahu si Elizabeth Gilbert itu dibayarin oleh penerbit atau entah promotor apa untuk travelling dan memperoleh ide segar penulisan. Maka buku eat, love and pray itu muncul..! Penulis mana dan siapa yang tidak mau mendapat kesempatan emas macam itu?” Tukas teman saya tajam. Dalam hati saya membathin, “Wah, saya juga mau…”

Baca juga :  Pengusaha Wanita Menjadi Korban Scammer Ngaku ” Jenderal Amerika”

Atas dasar film tersebut kesadaran saya sebagai seseorang yang suka menulis (mau menyebut diri penulis kok naskah saya belum ada yang lolos..He-he..) menguat. Bahwa sebuah perjalanan menjadi bahan dasar utama tulisan yang sangat menarik. Memang Ayu Utami pernah juga mengatakan bahwa menulis tidak harus dari pengalaman pribadi. Tulisan juga dapat diolah dari bahan informasi, referensi atau bahkan daya khayal yang sangat tinggi seperti Lord Of The Rings dan Harry Potter. Kelemahan saya adalah tidak mampu menulis dengan baik– sesuatu yang bukan pengalaman pribadi. Buat saya tulisan yang sepenuhnya ‘mengarang’ akan terasa bohongnya dan monoton. Tidak menampik ada penulis lain yang mampu mengolah karangan dengan sempurna. Di lain hari teman yang lain mengatakan bahwa kawannya bekerja untuk majalah airlines. Pekerjaannya adalah travelling kesana kemari, menuliskan kisahnya lalu dimuat di majalah airlines. Tentu saja mendapat ganjaran yang setimpal dengan kemahirannya. Lagi-lagi saya membathin, “Mau dong,..pekerjaan semacam itu..” Ya, iyalah siapa yang tak mau?

00031
Doc. pri

Menuliskan kisah perjalanan ternyata adalah sebuah olahan rasa. Adonan yang akan mampu menghasilkan sajian menarik, membuat pembaca ngiler. Ingin merasakan pengalaman yang sama. Ingin mengunjungi tempat yang sama atau bahkan mecicip hidangan kuliner yang dikisahkan oleh si penulis. Menuliskan cerita perjalanan menjadi menarik karena keluar dari rutinitas. Hal – hal yang rutin akan sulit diceritakan dengan apik, karena cenderung bosan. Rasa yang ada sudah hilang lenyap. Sementara cerita perjalanan akan membuka cakrawala baru. Apa yang menarik dari perjalanan tersebut, siapa yang ditemui, apa yang terjadi, adakah keajaiban yang muncul? Cerita perjalanan menjadi oleh – oleh yang ingin langsung dibuka oleh para pembacanya. Apa sih yang didapat dari perjalanan tersebut?

Baca juga :  Mau Jadi Lelaki Sejati? Merantaulah !

Saya baru saja kembali dari sebuah perjalanan ke kampung Baduy dalam. Kisah selengkapnya dapat dibaca di blog saya. Dan benar saja, setiap perjalanan yang saya lakukan selalu mendobrak rutinitas. Membuka cakrawala baru. Seperti ketika beberapa waktu lalu ke kampung naga. Kini ke kampung Baduy dalam pun ada cerita lain yang berbeda. Setiap perjalanan mengandung pelajaran hidup yang saya serap secara instan. Ketimbang saya duduk diam di kantor selama bertahun-tahun dan menghadapi polah yang sama dari lingkungan kerja dan manusia yang itu-itu saja. Kisah perjalanan setiap kalinya menjadi catatan penting bagi saya. Oh, begini rasanya! Oh begitu kejadiannya! Faktor manusia turun ke peringkat kedua untuk mendapatkan perhatian. Fokus utama tentu saja adalah keindahan alam dan ragam budaya. Itulah hal yang dicari dalam setiap perjalanan. Ya, kalau nginep di hotel mewah kenapa harus jauh-jauh ke Maladewa? Bisa ke Bali, bisa ke Hilton tho? Tapi berjalan di sebuah pematang perbukitan kala senja dan dipandu oleh penduduk asli Baduy yang mengenakan ikat kepala putih dengan kemahiran melangkah ala ilmu ginkang? Itu menjadi kisah yang luar biasa bagi saya,… Ada yang mau bayarin saya jalan-jalan? He-he,..

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 comments

  1. Yup setuju, kita bisa banyak belajar dari perjalanan, tidak harus kehidupan modern pada liburan mewah tapi liburan yang sederhana dalam perjalanan ke pelosokpun akan banyak yang dapat kita ambil untuk pelajaran…I love it

  2. Tentu setiap perjalanan akan berharga kalau kita mencatat dan memaknainya, setiap momen perjalanan akan selalu berharga bisa kita bisa menjiwai