Seks : Sesuatu Yang “Mudah” Untuk Ditertawakan.

genderNaluri manusia. Bahkan jauh sebelum menginjak era puberty pun seks telah menimbulkan ketertarikan bagi manusia. Bagi anak kecil, mereka melihatnya dari sebuah ‘perbedaan’ secara mendasar di anatomi. Tertawa kecil melihat “kenapa punyamu begitu dan punyaku begini”.
Menginjak dewasa, seks yang bagi kebanyakan masyarakat Timur masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu seperti tidak bebas diperbincangkan. Mendengar kata seks saja bisa membuat sebagian orang tersenyum simpul, tertawa kecil seperti takut ketauan dan bahkan membawa berjuta sel otak untuk membayangkan sesuatu kejadian.
Tidak bisa dibicarakan secara ‘telanjang’. Apa adanya. Seperti sesuatu yang harus ditutup tutupi, dan hanya dibahas dibalik kelambu berbayang saja.
Tidaklah heran. Apabila kemudian ada sebuah kasus pelaporan (asumsi) pemerkosaan, masih saja ada yang tertawa di balik (asumsi) penderitaan sang pelapor.
Terlebih apabila menilik kasus tersebut yang terlihat lemah secara gugatan hukum yang diajukan. Seperti apa yang terjadi pada kasus yang sedang panas, seorang penyair Sitok Srengenge dengan seorang Mahasiswi berinitial RW, yang masih berusia 22 tahun.

RW saat ini sedang hamil 7 bulan, dan mengaku telah berulang kali mengalami pelecehan seksual dengan unsur paksaan yang dilakukan oleh Sitok Srengenge. Jarak antara kejadian, dan berulangkalinya kejadian dengan pelaporannya sendiri, terlebih RW melaporkan dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan bukan pasal yang menyangkut pemerkosaan pun membuat (sebagian) orang bertanya tanya.

Kenapa baru sekarang melaporkannya? Ada motif apa di baliknya? Dan mirisnya, semua pertanyaan tentang motif itu pada akhirnya menjadi bahan tertawaan publik yang ‘menikmati’ pemberitaannya. Sebagai hiburan, tak kurang dan tak lebih.
Sedikit yang mengetahui, bahwa justru dari sikap tertawa dan cenderung melecehkan itulah kenapa masih banyak korban pemerkosaan yang enggan melaporkan kejadian yang menimpa dirinya. Stigma negatif dari masyarakat yang konon Timur ini. Gurauan yang sepertinya harmless bagi mereka, namun super menohok bagi korban.
Butuh keberanian lebih, untuk maju dan meminta perlindungan hukum terhadap kasus seperti ini. Masih saja banyak pendapat yang mengatakan bahwa korban sebetulnya menikmati.
Dan ini sejatinya tak lepas dari kultur Timur sendiri, dimana seks menjadi sesuatu yang mudah di tertawakan.
Adalah suatu logika yang keliru, dimana sebuah pertanyaan diajukan kepada korban dengan tatapan mata tak percaya dan menyelidik : “Kenapa baru melapor sekarang?” Seakan akan ingin langsung menghakimi dan mengatakan (dalam hati) dari dulu kemana aja, Neng? Menikmati? Jujur saja lah. Blak blakan saja, apabila memang itu yang ingin di pertanyakan.
Bukan pertanyaan berbalut empati, dengan intonasi berbeda walaupun kalimatnya sama : ” Kenapa baru melapor sekarang ? ” Dengan rasa kasihan yang mendominasi, seakan mengutuk diri sendiri mengapa membiarkan hal tersebut masih saja terjadi di lingkungan keseharian kita. Masih ada korban yang takut dan enggan melapor, sehingga para predator seksual ‘sakit’ masih banyak berkeliaran di luaran sana.
Mari kita coba bangun dari sebuah sudut pandang yang lebih sederhana. Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( KDRT). Berapa banyak dari mereka yang melapor ke pihak yang berwajib dan berapa banyak yang tidak.
Apabila lebih banyak yang tidak melapor, apakah hal itu cukup kuat untuk membangun sebuah asumsi bahwa mereka yang menjadi korban KDRT tersebut menikmati setiap pukulan dan siksaan yang ada ? Sehingga mereka tidak mau melapor?
Fakta di lapangan membuktikan bahwa korban KDRT baru melaporkan tindakan tersebut kepada pihak yang berwajib saat kejadian sudah berulang kali terjadi.
Saat mereka sudah merasa cukup, untuk berbohong kepada diri sendiri bahwa semua ini sifatnya hanya sementara. Akan berubah. Demi keutuhan keluarga, dan lain hal.
Semua itu diatas keselamatan sendiri.
Dan pada saat terjadi dan terjadi lagi, baru. Mereka akan melaporkannya. Dan tidak sedikit pula yang melaporkan hanya sekedar memberikan efek jera kepada pelaku. Tidak benar benar melanjutkan proses hukumnya, hanya sekedar mencari perlindungan yang selama ini tidak didapatkan. Sementara pelaku menangis nangis dan berjanji tidak akan melakukannya lagi.
Apakah mereka, para korban KDRT karena mereka tidak melaporkan tindakan tersebut lantas cukup kuat untuk membangun sebuah asumsi bahwa mereka sejatinya menikmati penyiksaan tersebut? Maaf kalau saya harus bertanya sekali lagi.

Baca juga :  Apresiasi Yang Sepi

Lantas bagaimana dengan para korban pemerkosaan yang tidak atau bahkan terlambat melaporkan tadi? Masihkah mau membangun asumsi bahwa mereka sebetulnya menikmati, dan karena itu tidak melapor jauh jauh hari sebelumnya?

Masih pantaskah, apabila saat ini saya tersenyum getir atas dasar pembangunan asumsi yang ada di benak kepala (sebagian) orang?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

9 comments

  1. yups sudah jadi korban ketika melaporkan eh jadi bahan tertawaan dan juga penghinaan, mungkin ini yang membuat para korban enggan melapor

    1. lah ternyata masih banyak yang gagal faham tuh Bung Katedra…. Masih berpikiran dengan ritme pikir “kok baru ngelapor sekarang, pas dulu enak kemana?” Wah, lha ya sekali gak mudengan tetep gak mudengan. Aku malah mikir saat ada wanita yang sinis mempertanyakan mungkin karena dulu punya experience lakinya direbut sama (kebetulan) wanita muda juga, jadi gebyah uyahnya mikir kasus ini sama dengan pengalaman seperti itu. Mumpung pada sakit pikir, boleh gak kira kira kalau ikutan sakit mikirnya ?

  2. ini yang justru jadi kemunduran berpikir, gak sadar bahwa sifat ‘merendahkan’ ini justru yang bikin para korban enggan melapor. Gak perlu deh liat kebenaran satu kasus atau tidak dulu, tapi cara menyikapi ini juga jadi barrier para korban untuk cari bantuan. Maaf kalau saya akan bilang mereka yang berpikiran seperti itu pathetic minded.

    1. Sekedar mau ngingetin aja,Mbak Ay ( mudah mudahan gak salah nih manggil Mbak). Benar atau tidaknya kasus ini betul memang masih perlu pembuktian. Tapi gurauan2 sekitar (asumsi) korban ini yang justru jadi pembenaran kenapa banyak korban yang jadi tidak melapor. Gak sadar pada berkontribusi kesana. Salam,