[Cerbung] Vendetta 11 : Black Hole

WRstarBH2close

Episode sebelumnya : Vendetta 10 : Emptiness

* * *

Hidup memang harus berlanjut. Setidaknya bagi Angel. Dan binar di mata Luita setiap kali melihat Angel datang menjenguknya di penjara pelan-pelan mengikis gamang di hati Angel. Juga kata-kata tegas Luita, “Bangkit! Nikmati hidupmu!” Dan Angel memeluknya penuh rasa terima kasih, atas kehidupan baru yang telah diberikan Luita padanya.

Dan Felitsa menikmati tiap detik barunya bersama sang kakak. Karunia menatap semuanya itu dengan airmata mengembang. Buka airmata kesedihan seperti yang bertahun-tahun lamanya telah ia tumpahkan dalam kekhawatiran soal kehidupan Felitsa. Tapi airmata penghapus duka. Ketika Karunia hendak pergi untuk menjemput kehidupannya sendiri, Angel menahannnya. Membuatnya luluh dan memutuskan untuk tinggal.

Nanny jangan pergi,” ucap Angel sambil memegang erat jemari Karunia. “Nanny sudah melakukan segala hal untuk memberikan yang terbaik buat Sasya. Sekarang biarkan aku memberikan tempat terbaik untuk Nanny. Kalau Nanny pergi, Nanny mau ke mana?”

Karunia terpaksa menggeleng. Ia tak pernah punya siapa-siapa karena ia cuma sebatang kara.

“Nah, Nanny memang harus tetap berada di sini,” Angel tersenyum penuh kemenangan.

Sedikit demi sedikit lubang hitam yang pernah menganga dalam hidup Angel mulai mengatup. Belum seutuhnya sempurna. Tapi banyak cinta yang diterimanya membuat segala sesuatu yang dihadapinya terasa jauh lebih ringan dan mudah.

Kalaupun ada satu debu kecil yang terasa sedikit mengusiknya, itu adalah seorang laki-laki tampan yang sudah beberapa minggu ini rajin mengunjungi kafenya. Dan ia tahu untuk apa laki-laki itu datang. Menunggunya terpeleset dan jatuh ke dalam perangkap.

Tak akan kuijinkan siapa pun merenggut kebahagiaanku lagi, geram Angel dalam hati. Juga kamu, Lukas! Angel menatap laki-laki itu dari balik dinding kaca kantornya. Diam-diam mengagumi kegigihan laki-laki itu.

* * *

Ganjalan itu menimbulkan lubang yang cukup besar dalam hidupnya. Betapa pun ia yakin bahwa nalurinya benar, tetap saja ujung labirin pencariannya terantuk pada tembok tinggi yang ia tak mampu menembusnya. Buntu.

“Sudahlah, Luk,” ucap atasannya santai. “Siapapun pembunuh Ferry Frianto, mungkin memang dialah yang dikirim Tuhan untuk menjebloskannya ke neraka. Lagipula Luita Hadikusumo sudah mengakui semuanya.”

Lukas terpaksa terhenyak dalam diam. Ferry Frianto…

Kadang-kadang Lukas merasa keinginannya jadi polisi adalah salah. Ternyata menjadi polisi tidak pernah membuatnya punya akses untuk membalas dendam masa lalu pada seorang Ferry Frianto. Seberapa pun kerasnya usaha yang ia lakukan untuk mencari celah kesalahan seorang Ferry Frianto, ia tak pernah berhasil.

Baca juga :  Mewujudkan Karya Sastra Indah

Dan ia selalu merasa bahwa ayahnya sedang memandangnya penuh kecewa dari Surga. Entahlah. Dengan kematian Ferry Frianto maka ia merasa bahwa tugasnya sebagai polisi sudah selesai. Walaupun rasa penasaran itu menggunung tanpa bisa dicegah. Bagaimana membuktikan bahwa pembunuh Ferry Frianto bukanlah Luita Hadikusumo? Ia menggeleng.

“Ada apa sebenarnya?”

Lukas terpaksa mengangkat wajahnya, menatap atasannya. “Ibu saya sudah tua. Saya punya tanggung jawab merawatnya. Itu tak bisa saya lakukan sepenuhnya kalau saya jadi seorang polisi. Ibu sudah terlalu banyak mengalami kehilangan. Tinggal saya yang dimilikinya.”

Maka ia pun terbebas kemudian. Ketika permohonannya untuk meninggalkan kepolisian dikabulkan. Dan ia memiliki lebih banyak waktu untuk mengamati buruannya. Buruan yang telah ditunjuk nalurinya.

Vania Hanandito. Pembunuh Ferry Frianto yang sebenarnya, menurut nalurinya itu. Dengan puluhan potongan puzzle yang tercerai-berai. Tanpa ia tahu harus menyusunnya dari sudut mana. Tanpa secuil pun petunjuk.

* * *

“Lepaskan semuanya.”

Bastian terpekur mendengar nada lembut itu. Seutuhnya ia memang sudah lelah dengan kehidupannya sekarang. Banyak hal yang terlalu gelap hingga membuatnya sering dihinggapi rasa gamang.

“Coba tekuni hobi fotografimu. Ambil seperlunya uang yang kamu punya untuk melengkapi semua kebutuhanmu membuka usaha baru. Mama yakin kamu bisa.”

Bastian mengangkat wajahnya. Luita menatapnya sabar. Ada yang terasa sejuk di dalam hati Bastian. Juga penyesalan. Betapa banyaknya waktu yang sebenarnya bisa ia nikmati dalam belaian kasih sayang mamanya harus musnah sia-sia karena egoisme papanya.

“Tak ada yang terlambat, Bas,” ucap Luita lagi.

Bastian akhirnya mengangguk. Mantap.

Masih ada kekosongan besar dalam dirinya. Terasa dingin dan kelam. Sebuah tempat yang ditinggalkan Felitsa. Tapi tak ada waktu lagi untuk meratapi semuanya.

Kalau ia berada pada posisi Felitsa, sepertinya ia akan melakukan hal yang sama. Meninggalkan kekasih yang ayahnya sudah menghabisi seluruh keluarga. Masih ada seorang yang tersisa. Tapi tetap saja kehilangan dan trauma itu sangat besar. Terlalu besar.

Baca juga :  Kalbuku Menjelang Senja

Jalan terbaik adalah membiarkan gadis itu meniti jalannya sendiri. Sesekali ia mengamati apakah Felitsa baik-baik saja. Dan ia sedikit bernapas lega melihat Felitsa tak apa-apa. Walaupun hal itu tak pernah sedikit pun berhasil menambal lubang yang terlanjur menganga di hatinya. Lubang hitam yang menyedot sedikit demi sedikit semangat hidupnya.

* * *

Sejujurnya Felitsa merasa kehilangan sekali sosok Bastian. Tapi apa mau dikata? Rasa sakit itu masih terlalu ketat menggulung hatinya. Huh! Ferry Frianto! Dan sialnya, Bastian adalah si bungsu kesayangan laki-laki busuk itu.

Tapi tak ada waktu untuk berkubang dalam kelam dan menyesali semuanya. Kampus sudah memutuskan bahwa ia harus menyelesaikan S2-nya secepat yang ia bisa. Tak ada lagi kesempatan untuk berandai-andai tentang dirinya dan Bastian.

Dan waktu senggangnya yang hanya sedikit itu dihabiskannya bersama kakaknya. Menebus rentang kehidupan bersama yang pernah hilang. Kalau kakaknya sibuk, maka ia melepaskan penatnya di sudut kafe. Menikmati beberapa porsi tiramisu dan kesegaran ice green tea.

Sedikit demi sedikit ia merasa kekosongan jiwanya telah pulih. Walau masih juga tersisa sisi kosong tempat Bastian biasanya bertahta. Tapi ia tak mau memikirkannya. Meskipun keinginan untuk memikirkan itu ada, namun ia memilih untuk menindasnya.

Dan cahaya matahari senja yang menerobos dari sela dedaunan di luar jendela kafe itu sungguh menghangatkan hatinya. Membuatnya nyaman sambil browsing banyak hal melalui laptopnya.

Hingga gema suara berat itu mengusiknya, “Maaf, Nona, boleh saya duduk di sini?”

Felitsa mendongak. Sepasang mata coklat gelap menatap ke arahnya. Tanpa sadar Felitsa mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kafe. Penuh. Dan arah pandangannya kembali berlabuh pada laki-laki itu.

“Silakan,” Felitsa memutuskan tanpa ragu.

Laki-laki itu menggumamkan ‘terima kasih’ sambil duduk di seberang Felitsa. Gadis itu sendiri kembali tenggelam dalam suguhan layar laptopnya. Tapi sesungguhnya ia berpikir, sepertinya laki-laki itu tak asing, tapi siapa? Tanpa sadar ia mengerutkan kening.

“Anda adik Nona Vania kan?”

Felitsa tersentak. Ditatapnya laki-laki itu beberapa detik. Lalu ia ingat dan mengulas senyum. “Ah, ya! Anda polisi itu kan?”

Laki-laki itu tersenyum tipis sambil menggeleng. “Tidak lagi.”

* * *

(Bersambung ke episode berikutnya : Vendetta 12 : Surrender)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 comments

  1. kereeeen..aku lebih suka lukas..soalnya kan bukan anaknya ferry frianto.. lizz ini tulisan ini ==> (Bersambung ke episode berikutnya : Vendetta 11 : Black Hole). kok keposting ya.. harusnya bersambung ke 12?