[Cerbung] Vendetta 7 : Sisters

Canon EF 135mm f2.0 L USM

Episode sebelumnya : Vendetta 6 : Angel Or Devil?

* * *

Tanpa sengaja Karunia menemukan selembar kertas itu di atas meja Felitsa. Kening Karunia berkerut ketika membacanya. Ayahnya adalah pembunuh keluargamu. Aku bisa membunuhnya sebelum ia membunuhmu. Jadi tinggalkan dia sebelum hal itu terjadi. Dan foto wajah Bastian ada di balik lembaran kertas itu.

Karunia terduduk seketika. Rasa dingin bagaikan timbunan es batu menjalari punggung hingga tengkuknya. Mendirikan bulu roma. Itu surat yang diterimanya dua hari yang lalu. Amplopnya sama persis. Karunia menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan.

Apa yang telah terjadi? Apa yang akan terjadi? Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Karunia hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala.

Angel… Vania kecil… Karunia mengerjapkan matanya. Setetes butiran bening menggelincir dari sudut matanya. Entah untuk apa.

* * *

Felitsa menyuapkan sepotong kecil almond sponge cake ke dalam mulutnya dalam senyap. Sesekali alam lamunan menyergapnya. Mendera rasa antara percaya atau tidak terhadap beberapa kalimat dalam surat yang diterimanya dua hari lalu. Yang ditinggalkannya di atas meja didalam kamarnya.

Entah kenapa, rasanya ia sendiri makin tak mengenal Bastian. Berita miring tentang sepak terjang ayah Bastian bukannya tak pernah ia tangkap. Pada awalnya ia hanya mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Toh yang kekasihku adalah anaknya, bukan ayahnya, begitu ia selalu berkelit. Dan Bastian yang dikenalnya bukanlah laki-laki yang suka aneh-aneh.

Sepotong kecil lagi almond sponge cake menghilang ke dalam mulutnya. Seorang pelayan mendekatinya dengan membawa nampan berisi sebuah tiramisu. Felitsa hanya mendongak sambil menatap pelayan itu.

“Ini buat Mbak,” ucap pelayan itu sopan, sambil meletakkan piring kecil berisi tiramisu itu di depan Felitsa.

“Saya nggak pesan, Mas,” ucap Felitsa cepat.

“Ada yang pesan buat Mbak,” senyum pelayan itu. “Silahkan, Mbak.”

Felitsa tak jadi membuka mulutnya. Pelayan itu sudah beranjak pergi. Felitsa menatap tiramisu itu. Sudah berapa lamakah ia tak pernah lagi menyentuh tiramisu? Sejak mamanya…

Ia menggeleng pelan. Buatnya, tiramisu buatan mamanya adalah yang terenak di dunia. Dan ia tak pernah lagi mau menyentuh tiramisu lain sejak… Ia kembali menggelengkan kepala. Dibalut kenangan itu, seketika ia melupakan tanya yang sudah sampai di ujung lidahnya. Tentang siapa pemesan tiramisu itu. Ia mulai menyendoknya. Sedikit. Kemudian disuapnya ke dalam mulut. Dan ia langsung memejamkan mata.

Baca juga :  Penyesalan

Seutuhnya rasa tiramisu ini otentik dengan buatan mamanya. Bagaimana bisa? Tapi Felitsa enggan memikirkannya. Dengan penuh kenikmatan dirasakannya sensasi tiramisu itu mengelus lidahnya. Ketika sadar bahwa ia telah sampai pada suapan terakhir, ia mendesah kecewa. Kerinduannya sekian tahun serasa belum tuntas.

Ketika kepala dan matanya berputar mencari pelayan terdekat, seorang perempuan cantik berambut coklat melenggang ke arahnya dengan membawa nampan berisi empat piring kecil tiramisu. Mata Felitsa lekat menatapnya. Dengan senyumnya, perempuan itu meletakkan empat piring tiramisu di depan Felitsa. Felitsa menatapnya tanpa kedip.

“Masihkah mennyukai tiramisu?” ucap perempuan itu dengan suaranya yang halus, nyaris seperti hembusan angin lalu.

Felitsa tercekat. Ada berapa orang di dunia ini yang tahu ia pernah menyukai tiramisu? Dan jelas perempuan ini bukanlah Nanny Karunia yang sedang menyamar. Ketika perempuan itu membungkuk sedikit untuk duduk di seberang meja, sebuah benda bulat yang sangat dikenal Felitsa tampak terayun di depan leher perempuan itu. Spontan Felitsa meraba pangkal lehernya.

Benda bundar itu masih ada di sana. Miliknya. Yang sama persis dengan millik perempuan itu.

Felitsa kian tercekat. Apalagi ketika perempuan itu berucap lembut dan terdengar bergetar, “Sasya, apa kabar?”

Tiramisu berasa otentik… Medallion dengan deretan berlian warna-warni yang persis sama… Panggilan ‘Sasya’…

Felitsa membuka mulutnya.

* * *

Sejujurnya Angel ingin segera menghambur memeluk salah satu pelanggan kafenya itu. Felitsa. Yang terkadang datang sendirian. Terkadang bersama kekasihnya. Dan kali ini ia datang sendirian. Dari balik kaca kantornya Angel tak putus menatap sosok itu dengan penuh kerinduan. Semakin rindu setelah ia tahu benar siapa perempuan muda itu.

Felitsa dilihatnya tengah menikmati pesanan dengan ekspresi setengah melamun. Tampak sekali gerakannya memasukkan potongan-potongan sponge cake ke dalam mulutnya adalah gerakan yang otomatis. Tatapannya tampak fokus menerawang sesuatu yang begitu jauh.

Angel menghela napas panjang. Sedetik kemudian ia mengangkat gagang telepon dan mengucap sopan, “Titik, tolong siapkan lima tiramisu untuk Mbak di meja 16, tapi antarkan satu dulu. Bilang sama waiter, ada yang pesan buat dia.”

“Baik, Mbak.”

Dan airmata Angel runtuh ketika melihat betapa Felitsa menikmati tiap sendok dari sebuah tiramisu itu. Tentu saja! Masih ada sentuhan rasa dari Mama yang melekat kuat.

Baca juga :  Aku Suka Senyummu

Dulu, selalu ia yang membantu Mama membuat tiramisu. Setiap bahan dan detil pembuatan ia perhatikan hingga paham betul, sebatas pemahaman seorang gadis kecil berusia delapan tahun. Dan setelah Mama tiada, setelah ia beranjak remaja, bagai kesetanan ia belajar hampir tiap hari untuk membuat tiramisu yang semirip mungkin dengan buatan Mama. Hingga suatu saat ia berhasil. Ia menyambut kemenangan itu dengan menangis semalaman. Terutama ketika ia ingat siapa sesungguhnya yang sangat menyukai tiramisu buatan Mama.

Angel menghela napas panjang. Berusaha untuk menutup kenangannya. Ketika dilihatnya Felitsa di luar sana hampir menghabiskan tiramisunya, ia segera mengusap bersih airmata dan keluar dari kantornya.

“Tik, mana sisa tiramisunya? Biar kubawa sendiri.”

Titik segera menyerahkan nampan berisi empat piring kecil tiramisu. Tanpa banyak kata kecuali ‘terima kasih’, Angel membawa nampan itu keluar dari dapur.

Sesungguhnya langkahnya terasa goyah. Tapi Angel berusaha tetap tegak dan tegar. Pun ketika tatapan bening tanpa kedip itu lekat menghujam wajahnya. Ia terus mendekat dan tersenyum, sambil meletakkan empat piring tiramisu di depan Felitsa.

“Masihkah menyukai tiramisu?” ia berucap dengan suaranya yang halus, nyaris seperti hembusan angin lalu.

Hingga ia duduk di seberang meja, Felitsa masih juga menatapnya tanpa kata. Demi melihat Felitsa masih meraba pangkal lehernya, Angel pun melakukan hal yang sama. Mereka hanya mampu saling menatap. Hingga akhirnya Angel kembali berucap lembut dengan suara bergetar, “Sasya, apa kabar?”

Felitsa masih menatapnya tanpa kata. Angel menunggunya dengan sabar. Apa artinya menunda sekian detik untuk menebus dua puluh tahun waktu yang hilang? Walaupun sesungguhnya ia ingin memeluk erat gadis di depannya itu.

Dan akhirnya waktu pun bermurah hati. Membuat Felitsa membuka mulutnya pelan. Kemudian berbisik ragu, “Kakak?”

Sebuah sebutan yang hilang dari hidupnya selama dua puluh tahun lamanya. Yang terkadang membuatnya terpuruk dan merasa enggan bangkit lagi. Yang terkadang sebaliknya, hanya dengan mengenang begitu saja sebutan itu, alam bawah sadarnya menghelanya untuk bangkit kembali.

Dan segalanya mejadi benar ketika ia menjawabnya di tengah deraian airmata di sudut kafe itu, “Ya, Sasya, ini Kakak…”

* * *

(Bersambung ke episode berikutnya : Vendetta 8 : Mea Culpa)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 comments

  1. wahhh… makin seru, bagaimana yach rasanya tiba-tiba bertemu dengan saudara yang kita yakini sudah tak ada.
    Mbak Liz mampu mengungkapkannya dengan sempurna dalam cerita ini
    Bravo mbak
    :2thumbup

  2. mbak Lis, sakjane, si Angel ini kakaknya atau maminya sih? 😀 Cerita makin menarik…

  3. waaa, kenapa bersambungnya begitu cepat? padahal masih mau baca lagi, huaaa..
    ini ceritanya makin menarik, nggak sabar nunggu tayang lagi, hehe 😀