Cerita Guru

guru vs teknologi

Beberapa tahun yang silam saya pernah menulis dengan judul: Prediksi Guru Setengah Berfungsi. Tulisan tersebut berisi kekhawatiran beberapa orang bila guru  di masa yang akan datang tidak lagi berfungsi. Kemungkinan guru akan segera digantikan dengan teknologi. Memang tulisan itu muncul setelah kami berdiskusi santai saat ngopi dengan beberapa teman. Namun, saya berpikir tak akan semudah itu akan terjadi.

Tidak sampai satu  dasawarsa ternyata  kemunculan pandemic Covid 19, dengan paksa telah merenggut para siswa yang duduk di ruang-ruang kelas. Mereka harus masuk rumah, diam dan belajar dari ruang keluarga. Secepat itu pula para guru harus mau berdamai dengan teknologi yang telah siap menggantikannya. Tentu bukan perkara mudah, karena tantangan fasilitas dan sumber daya manusia di negeri ini masih jauh dari kata memadai. Bagi sebagian siswa yang berada di kota besar memang bukan suatu masalah, bahkan bisa menjadi sebuah berkat. Bagaimana tidak, kesempatan bisa belajar secara interaktif dengan seorang Menteri dirasakan oleh para siswa. Namun, gak kebayang kondisi anak-anak yang berada jauh di ujung negeri ini.

Para siswa yang belajar dengan Menristek Profesor Bambang Brojonegoro ini secara kebetulan saya temukan di sebuah canal You Tube.  Kegiatan ini rupanya diinisiasi oleh sebuah Yayasan Pendidikan di Jakarta yang melibatkan sekitar 500-an peserta didik yang bernaung di bawah Yayasan tersebut.. Tentu sebuah kesempatan langka sehingga tidak mengherankan jika peserta anak-anak Sekolah Dasar ini begitu antusias mengajukan berbagai pertanyaan. Salah satu pertanyaan yang ketika itu diajukan seorang siswa adalah, “Pak apakah mungkin guru-guru ke depannya dan seterusnya akan digantikan dengan teknologi?” Sesaat saya terhenyak dan tergelitik mendengar pertanyaan tersebut. Seketika Pak Menteri menjawab dan memberikan penjelasan. Memang dikatakan pernah dikemukakan dalam sebuah diskusi bahwa robot bisa menggantikan tugas guru untuk mengajar dan menjelaskan meteri di di depan kelas. Akan tetapi Pak Menteri dengan cepat menambahkan bahwa peran guru tidak bisa digantikan robot terutama untuk pengajaran di sekolah dasar. Jadi, sejauh ini guru masih tetap  diperlukan dan guru tidak akan hilang.

Baca juga :  Jangan Malu Menulis Artikel Pendek

Pertanyaan siswa tadi mengemuka karena selama proses home learning  siswa tidak lagi berjumpa dengan guru. Siswa tadi mengemukakan kalau dirinya  rindu  untuk berjumpa dengan para guru selain dengan teman sepermainan. Anak-anak rindu cerita yang dikisahkan oleh para guru saat berada di dalam kelas. Mereka merindukan belajar dan sekolah secara konfensional.

Cerita bagi seorang guru menjadi sarana menanamkan fondasi karakter siswa. Melalui cerita-cerita yang digelontorkan oleh para guru, siswa belajar memaknai dan menangkap pesan. Mendengar cerita, para siswa akan duduk manis dan dengan tekun menyimak setiap kata yang dikisahkan guru. Tidaklah berlebihan jika anak-anak sekolah dasar  merindukan para guru. Begitu pula siswa yang duduk di sekolah lanjutan pun ,asih akrap dengan cerita.  Mereka  juga tidak sabar untuk bercerita dengan guru segala persoalan hidup yang dialaminya saat mereka belajar di rumah.

Sebuah realita di kota-kota besar, bahwa banyak anak yang harus dewasa sebelum waktunya. Tentu ini bukan sebuah berita yang menggembirakan. Situasi ini yang sering menjadi masalah baru yang perlu ditindaklanjuti. Anak-anak yang masih labil menjadi frustrasi saat harus berhadapan dengan persoalan orang dewasa yang terjadi dalam keluarga. Anak menjadi siswa yang kehilangan motivasi belajar. Kasus ini pada akhirnya harus mendapat penanganan. Kerja sama antara guru dan orang tua untuk memulihkannya. Hal ini juga cukup beralasan karena tak jarang anak walau tinggal serumah dengan orang tuanya tetapi mungkin mereka baru berjumpa pada saat libur atau akhir pekan. Orang tua sibuk dengan bisnis dan pekerjaan hingga larut malam baru pulang saat anak sudah tidur.  Begitu pula pagi hari anak akan berangkat sekolah orang tua masih beristirahat. Situasi yang memang dialami oleh beberapa siswa di kota besar. Mereka hanya bisa berkomunikasi dengan sopir dan asisten rumah tangga. Dalam situasi seperti ini, guru lah yang dicari untuk mendengarkan cerita.  Para siswa ini perlu telinga hati guru untuk mendengarkan cerita problematikanya.

Baca juga :  Dasar Negara Indonesia, Pancasila sebagai Ideologi Pemersatu Bangsa

Berdasarkan realita tersebut, di era teknologi ini robot memang bisa menggantikan guru dalam menyampaikan ilmu pengetahuan. Robot bisa bekerja lebih cepat dan mungkin lebih kecil persentasi melakukan kesalahan. Robot juga bisa membacakan cerita untuk siswa. Namun, robot tak akan pernah mengerti persoalan yang dihadapi para murid. Robot tidak memiliki ” hati” seperti seorang guru untuk berbagi cerita dan mendengarkan cerita.

Cerita menjadi  “benang merah “ yang menghubungkan antara guru dan murid, baik bagi anak-anak sekolah dasar maupun sekolah lanjutan. Cerita menjadi daya yang mampu memaknai kelembutan kasih dalam kehidupan. Telinga dan mata hati guru yang mampu mengartikulasikan makna sebuah cerita, senyuman, dan air mata seorang siswa. Cerita yang mampu  menjadi kerangka dan menghidupi  mimpi seorang siswa. Melalui cerita guru dan siswa bersama-sama berjuang untuk menggapai  asa. Pengalaman dan interaksi bersama para guru akan menjadi kisah yang dituliskan dalam lembar-lembar kehidupan. Lembar-lembar ini pula yang kelak akan terkumpul dalam buku kehidupan. Buku kehidupan yang mengandung sebuah cerita yang kembali akan diceritakan kepada generasi penerusnya. Salam. Jkt-25052020-AST

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *