Kotor

kotor“Adik tidak boleh bermain di halaman, kotor! Adik, jangan pegang-pegang tanah, kotor…tahu gak?” Em…., sepenggal kalimat yang sering keluar dari mulut ibu-ibu muda ketika melihat anaknya sedang bermain. Bahkan, tak jarang orang tua harus sibuk meminta asisten rumah tangga menyeterilkan ruangan terlebih dahulu karena si “Raja Kecil” akan bermain. Tentu bukan suatu kesalahan mengingat anak-anak harus berada di tempat yang bersih dan nyaman saat bermain demi kesehatan.

Akan tetapi ada hal yang kita lupakan. Semua bentuk nasihat dan perhatian yang luar biasa tadi juga akan membentuk kebiasaan dan mental anak. Ketika dewasa tentu mereka juga akan menjadi anak yang selalu memperhatikan kebersihan. Walaupaun dalam kenyataan untuk keberlangsungan kehidupan manusia, kita dituntut untuk bersentuhan dengan tempat yang kotor. Bisakah Anda membayangkan, apabila tak satu manusia pun di dunia ini yang mau berurusan dengan tempat kotor?

Keberlangsungan hidup kita tak lepas dari tanah dan tempat kotor. Manusia hidup tentu karena makanan. Makanan yang kita konsumsi merupakan hasil pertanian. Para petani dalam proses bercocok tanam akan sangat akrab dan bersentuhan dengan tempat yang sanngat kotor. Tanah dan pupuk kandang yang merupakan sisa pembuangan dari ternak menjadi sahabat para petani. Namun, jika sejak dini anak selalu diingatkan untuk tidak menyentuh tanah karena kotor alhasil tak akan ada lagi anak yang mau menjadi petani.

Baca juga :  Скачать MostBet для Android и IOs с официального зеркал

Dewasa ini masyarakat selalu diingatkan untuk tidak makan makanan import. Bahkan partai yang sedang mencari simpati masyarakat pun berkampanye melalui televisi untuk makan produksi negeri sendiri. Akan tetapi, kenyataan yang harus kita hadapi kita sulit menemukan hasil produksi dalam negeri yang berkualitas. Kita saat ini sangat tergantung dari hasil pertanian negara lain untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Alasan utamanya tak lain dan tak bukan, masyarakat kita sudah enggan menjadi petani. Berbagai pertimbangan, di antaranya karena gengsi, hidup tidak sejahtera, atau alasan lain. Lebih kasat mata karena mereka tidak mau kotor. Mereka akan lebih senang menjadi tukang ojek atau buruh, daripada harus menjadi petani walaupun mereka memiliki lahan yang memadai. Banyak anggota masyarakat lebih memilih menjual lahan yang mereka miliki untuk bisa menerima uang yang banyak hingga tangan tetap bersih tanpa harus bekerja.

Baca juga :  Berperang dengan Cantik

Dengan demikian, pola asuh orang tua yang semula bermaksud baik ternyata tidak selamanya menjadi baik. Anak-anak yang terbiasa selalu bersih tentu tidak mau lagi menjadi kotor. Nah, sekarang yang harus menjadi pemikiran adalah, apakah kita mampu berswasembada pangan di negeri ini? Tentu tinggal angan-angan saja, jika sudah tidak ada lagi anak bangsa yang mau menjadi petani karena kotor. Sepertinya ini masalah yang sederhana dan sepele, tetapi jika hal ini tidak mendapat perhatian serius, niscaya hidup kita sungguh-sungguh akan tergantung kepada pihak lain. Jadi, sangatlah setuju dengan iklan sabun detergen yang mangatakan, “Berani kotor itu baik”. Hal ini sebenarnya mengingatkan orang tua dan anak-anak yang berani kotor berarti kreatif dan inovatif. Mereka yang kreatif dan inovatif ini yang diharapkan oleh negeri ini.

Salam-AST 07042014

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 comments

  1. bener jugaaa… hidup ini adventure, termasuk kotor dan nyemplung sawah atau sungai..kalau selalu duduk dibelakang meja menjadi lebih baik nanti yang nanam padi dan nangkap ikan siapa?

    1. Memang berani kotor itu baik Jeng, yang gak baik kalau POLITIK KOTOR hehehe…apalagi kotor-kotor yang di Kampung Naga, itu ok banget…