Selamat Menempuh Hidup Baru

where do“Ibu, apa yang harus saya tulis di kartu ucapan?” Demikian selalu pertanyaan yang saya ajukan kepada ibu jika kami akan pergi kondangan. Waktu itu saya tinggal di kota kelahiran dan tentu saja kotanya kecil – mungil. Kalau orang Manado bilang ‘Torang samua basudara.’ Karena semua orang saling kenal dan berkerabat, rasanya sering sekali kami mendapat undangan pernikahan di kota kelahiran. Saya sedikit kasihan kepada ibu. Karena tak memiliki suami sejak usia muda, bagi ibu pergi kondangan barangkali sedikit menyiksa. Tetapi itu adalah kewajiban sosial yang harus dipenuhi. Mau tak mau ia akan melakukannya. Biasanya ibu, saya dan adik akan pergi bertiga naik beca menuju tempat diselenggarakannya pesta nikah.

Kota tempat tinggal kami itu dulu sangat kecil dan kalau tidak salah hanya ada tiga gedung untuk acara pernikahan. Biasanya acara diselenggarakan pada siang bolong sehingga bertepatan dengan acara makan siang. Saya kurang suka pergi pesta siang bolong. Entah ya, saat kecil dan remaja saya sudah mampu mengendus ‘aroma dugem’ barangkali? Bagaimana tidak enggan? Pesta dengan busana bergaya, tetapi keringat bercucuran karena pergi pesta naik beca di siang bolong. Ya, karena kotanya adalah salah satu kota Pantura. Panasnya jangan ditanya. Tetapi ibu selalu membawa saya dan adik, dikarenakan memang tidak ada ayah yang menemaninya untuk datang kondangan. Pesta – pesta di kota kecil kami sedikit membosankan buat saya. Orang – orang datang dengan gaun yang sudah bisa diduga modelnya. Renda – renda atau bunga – bunga. Warna oranye terang, pink muda, merah menyala, hitam atau putih. Lalu semua sibuk makan sup. Mirip club Hailai ala Pantura.

Weekend kemarin saya kondangan dengan suami dan putri saya. Tempat kondangan cukup prestige, yaitu di Balai Kartini. Dari tepian Pantura pindah ke Jakarta tentu saja kesan Balai Kartini jauh berbeda dengan model kondangan – kondangan yang saya alami semasa kecil. Tidak pakai keringatan gembrobyos,.. Orang – orang tidak lagi berdandan gaya meriah dan mengenakan perhiasan emas bergelantungan seperti toko berjalan. Di ibukota orang dapat berusaha tampil lebih elegan dengan perhiasan yang minim, namun busana dan tata rias berkelas. Kemarin pasangan yang mengundang juga merupakan tetangga saya. Sehingga saya mengenal betul gaya keluarga tersebut. Tamu – tamunya pun tampil sederhana, elegan dan menyenangkan. Sesuai dengan model sekarang pajangan foto pre-wed dipajang. Kemudian ada dua kupon, yang satu ditukar souvenir dan satunya kupon untuk berfoto.

Baca juga :  Apresiasi Yang Sepi

Saya berpikir betapa jauhnya sebuah lompatan suatu masa. Jaman dahulu tukang foto yang disewa di kota kecil kami menggunakan perlengkapan kuno dengan camera non digital. Hasil foto harus di afdruk, cuci – cetak dari film negatif. Tidak ada pula program – program perbaikan foto seperti jaman sekarang. Kemudian yang masak kelompok ibu – ibu, tidak dikenal istilah EO. Tidak ada acara toast dan lempar buket kembang. Yang pasti MC-nya rame banyak bicara dan pengiring musik biasanya model organ tunggal. Rasanya semua serba datar. Satu – satunya yang saya ingat selalu adalah pertanyaan yang saya ajukan kepada ibu. “Apa yang harus saya tulis di kartu ucapan, Bu?” Dan ibu selalu menjawab, “Tulis saja SELAMAT MENEMPUH HIDUP BARU” dan cantumkan nama kita, keluarga anu. Saya lalu melaksanakan perintah ibu, tak lupa menyisipkan uang angpao kedalam amplop. Ritual yang selalu sama. Saya pikir bagi ibu sedikit menyedihkan untuk selalu datang ke pesta pernikahan tanpa pasangan. Selalu datang berdua atau bertiga hanya dengan anak-anaknya saja.

Baca juga :  1xbet как внести и вывести деньги из казино

Puluhan tahun berlalu sejak masa remaja. Sekarang saya telah mampu menuliskan rangkaian kata – kata mutiara, puisi cinta atau syair ceria. Apapun itu untuk mengiringi sebuah kartu ucapan selamat bahagia bagi mempelai. Tetapi seringnya saya hanya mengambil ucapan yang sama persis seperti yang disarankan oleh ibu. Biasanya saya hanya menulis singkat, “Selamat menempuh hidup baru, dari keluarga anu.” Saya malas berkreasi dengan kata – kata pada kartu ucapan pernikahan. Dulu saya tak tahu mengapa saya rajin menulis karangan panjang, namun paling tidak kreatif menuliskan selamat berbahagia kepada pasangan mempelai. Mungkin alam bawah sadar saya yang sedikit pesimis tentang orang – orang yang baru saja memulai bahtera pernikahan.

Masih ada sedikit trauma dan rasa pedih teringat bahwa hati ibu selalu tersakiti dalam setiap undangan pesta – pesta pernikahan yang harus dihadirinya. Dan undangan itu tidak sedikit, hampir setiap minggu. Pesta yang tak akan pernah mengingatkannya akan bahagia, justru menyedihkan hatinya. Saya? Saya selalu pergi pesta dengan suami. Tidak sekalipun saya berangkat sendiri untuk sebuah pesta. Dan jika pun suami tak sempat menemani, saya selalu punya daftar teman yang dapat saya ‘bujuk dan bajak’ untuk menemani ke pesta. Baik wanita atau pria tak masalah. Kini, saya bahkan punya seorang putri yang selalu menemani saya kemana – mana. Jujur saya sering ngeri dengan ucapan “Selamat menempuh hidup baru,…” No one knows what’s gonna happen next in life.  Mom,…selamat menempuh hidup baru di surga! Bulan depan tak terasa setahun sudah kau berpulang…

foto : artsysf.buzznet.com

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *