Bahasa Daerah : Antara Pro dan Kontra

bahasa-1KK
ymulya.wordpress.com –

Di awal tahun 2013 sempat ramai perdebatan mengenai wacana penghapusan Bahasa Daerah dari kurikulum. TIdak serta merta dihapus secara keseluruhan, namun di kurikulum inti Bahasa Daerah memang tidak tercantum. Pihak Sekolahan hendaknya mencantumkan sendiri tambahan kurikulumnya, terutama di soal Bahasa Daerah tadi, apabila dirasakan perlu.
Perlu tidaknya? Itu bisa jadi sebuah diskusi menarik yang menyangkut kultural dan nasionalisme. Bagi sebagian, bahasa daerah dirasakan sudah ‘kurang perlu’, dan hanya patut di ajarkan sebagai ekstra kurikuler saja, atau di tengah tengah sebuah masyarakat kecil bernama keluarga. Alasannya : Mengurangi perbedaan etnis, toh kita punya Bahasa Indonesia kan?
Banyak yang tidak setuju penghapusan ini atas dasar pelestarian kebudayaan yang justru menjadi sendi Indonesia. Saya hanya ingin melihat dari sisi yang mungkin bisa jadi lebih simpel, namun punya keterkaitan yang luas : Demi Etika Bangsa.
Bahasa , adalah susunan atau terjemahan cara berkomunikasi. Sesuatu yang terucap, terdengar, dimengerti dan tak jarang disertai dengan penambahan mimik atau gerakan tubuh lainnya.
Bahasa, adalah alat komunikasi kita yang tak jarang seringkali disepelekan nilainya.

Lantas apa hubungannya dengan etika bangsa ? Tanpa disadari, cara kita berkomunikasi sehari hari sejatinya merupakan bagian dari etika. Dan etika berkebangsaan tersebut semakin hari semakin tergeser nilainya. Justru dimulai dari saat kita mulai malas untuk ‘berbahasa’ dengan benar.
Saya orang Jawa. Yang beruntung lahir dan besar di sebuah paduan multi etnis yang cukup unik padupadannya. Kultur melayu , Arab, Cina peranakan dan kultur etnis lain di Indonesia menjadikan siapa saya pada saat ini.
Namun Bahasa Jawa lah yang harus jujur mengatakan bahwa nilai didalamnya lah yang mengajarkan etika dalam keseharian. Bahasa Jawa, ada tingkatan bertuturnya. Ada yang halus, dipergunakan pada orang yang lebih tua atau dihormati. Ada yang sedang, gabungan antara halus dan sedikit kasar. Dan ada pula yang ngoko atau kasar : Sesuatu yang hanya dipergunakan kepada rekan sepantaran.
Sebut kami feodal, namun secara tidak langsung kebiasaan berbahasa tersebut jugalah yang mengatur nilai dan etika dalam keseharian. Bagaimana bersikap, menghormati dan juga mengatur perilaku dalam keseharian.
Bahasa Ibu kah? Meski Ibu memang orang Jawa, namun kenyataannya kami tidak pernah berbahasa Jawa di rumah karena Ibu sedari kecil berdiam di Makassar. Sehingga bahasa Jawa sendiri justru didapatkan pelajarannya dari sekolah, dari lingkungan dan terutama dari teman dalam keseharian.
Ayah, seorang yang bisa dibilang ‘semi liberalis’. Hanya memberikan kata kata kunci sebagai bekal kepada anak anaknya, untuk mereka mencari sendiri maknanya dalam hidup. Membebaskan kesalahan , sebagai sebuah pelajaran hidup. Dan bagaimana cara mengenali sebuah kesalahan, memperbaiki dan tidak melakukannya lagi. Semua, dan hanya bekal setumpuk buku untuk dibaca.
Beliau tidak pernah berbahasa Jawa ke keluarga. Bukan berarti tidak bisa, karena seringkali Beliau pun bertutur dengan bahasa Jawa yang halus terhadap rekan , atau yang lebih tua tentunya. Protes kan? Kenapa tidak pernah mengajarkan bahasa Jawa ke saya, atau kakak? Ternyata jawabannya simpel. Pada saat itu terjadi gesekan antar etnis yang cukup keras, antara mereka yang mengaku ‘pribumi’ dan ‘para pendatang’. Beliau tidak ingin saya menjadi satu bagian dari konflik tersebut, dan bahkan ikut untuk tidak setuju akan sesuatu hal yang bahkan sampai hari ini masih terjadi.
Meski demikian, setumpukan buku tadi pun tak sedikit yang mengajarkan tentang falsafah Jawa. Bahasa Jawa. Dan tidak sedikitpun ingin agar anak anaknya melupakan, siapa dan darimana asalnya.
Membebaskan untuk memilih. Apakah saya ingin menjadi seorang Tiyang Jawi sebenarnya dengan gelar Raden Bagus Gonjang Ganjing didepan nama, atau menanggalkan itu semua namun tidak pernah lupa akan esensinya.
Untuk urusan nama, bahkan rasanya harus berterima kasih kepada Ibu yang protes keras saat Ayahanda menyiapkan sebuah nama unik sebelum kelahiran saya : Bramanak Jawa. Kebayang kan, gimana penderitaan saya dengan olok olokan teman apabila nama saya betul betul jadi Bram (si) anak Jawa ?

Baca juga :  Kamu Itu Mandul !!!

Cukup ngelanturnya, mari kembali ke topik.
Bahasa Daerah ( Jawa) dengan tingkatannya secara langsung telah mengajarkan kepada saya tentang budi pekerti. Perilaku. Rasa menghormati. Etika. Sesuatu yang bahasa Indonesia tidak bisa.
Jadi jangan heran, apabila bertemu dengan saya tak peduli anda itu Bugis, Batak, Sunda, Dayak , Arab, Cina atau apapun , kata Matur Sembah Nuwun yang berarti berterima kasih secara halus akan mengalir begitu saja sebagai bentuk penghormatan tertinggi kepada lawan bicara yang kemungkinan lebih tua.
Bukan karena merasa ras lebih superior atau feodalistik, namun lebih kepada etika bertutur yang secara langsung berpengaruh pada sikap keseharian. Tak kurang, tak lebih.
Nasionalisme ? Tak berkurang sedikitpun dengan identitas ini.

Baca juga :  Surat Kepada Sahabat

Matur Sembah Nuwun , para rencang ( rekan rekan), Indonesia, untuk kekayaan ragamnya.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 comments

  1. Betul juga
    Bahwa Bahasa Daerah reresebtasi dari jamaknya budaya
    Mantrup 😀

    1. Iya Pak Dos. Dengan pengenalan Bahasa Daerah itu gak melulu tentang menjaga sebuah ‘warisan’ saja, tetapi juga sebagai pengingat siapa jati diri kita sebenarnya. 🙂